Delapan semester telah kurampungkan
di lapangan Hocky, Softball, Sepakbola, Bolavoli, Bolabasket, Bulu Tangkis, Tenis dan di gedung berlantai tiga jurusan
pendidikan olahraga FIK UNESA. Mengenakan baju Toga yang sangat gagah aku
keluar dengan title S-1 di dadaku. Sebuah gelar hasil perjuangan Mak Bapak.
Aku pun belum tahu yang namanya menulis, apalagi menulis indah, terakhir
yang menjadi kesibukanku ya, menulis Skripsi, itu pun karena kewajiban...hehehe.
Sebuah potongan cerpen di bawah ini semoga bisa
menjawab......
Kapan hobiku menulis muncul lagi dan semakin
bersemangat...???
Dia
yang mampu membuatku merasa nyaman, dia yang mampu membuatku merasakan tunas-tunas cinta bersemi, dia yang mampu membuatku tersenyum. Meskipun tak jarang aku selalu menepis dugaan orang-orang terhadap
kedekatan kami, tapi ada rasa senang yang membuncah di balik itu. Tak hanya
menimbulkan harap, tapi juga kenyataan.
Hari sabtu, ketika terik melegamkan kulitku. Aku
terbangun dari lamunan, siapa lagi kalau tidak sosok yang akhir-akhir ini
menyita perhatian dan kepedulianku terhadapnya. Pesan singkat mengetuk HP ku.
“Doorr..!!!” isi sms Dia menggugah senyumku. Anak ini dapat sinyal
terkahku.
Tidak
lama aku langsung mengirim balasan “dimana?”
“Melolo, di atas motor.”
“Sendirian?”
“Iya, dianter murid.”
Tidak lama setelah itu Dia mengirim warta kalau sudah
sampai di tempat Izza, hampir bersamaan Budi tiba-tiba juga mengirim pesan singkat, “Al, Dia sendirian di
Melolo, kamu ke sini temenin dia, kasihan karena anak-anak akan ke Waingapu
semua.”
“Katanya sama Irma, Bud?” tanyanya.
“Nggak, Irma juga ikut ke Waingapu,” jawabnya.
“Tunggu dulu, Bud.”
Tidak peduli kenapa Budi menyuruhku untuk menemani Dia,
yang jelas karena aku Korcam, itu saja yang aku pikirkan.
“Sendirian ya, kamu,” dengan cepat aku memastikan ke Dia.
“Tidak apa-apa, aku
dah bilang Budi kalau aku
berani sendirian kok, tapi Budi dan Izza
nya yang nggak ngebolehin,”jawabnya.
“Oke2...aku ke sana,” tanpa penawaran aku memutuskan
berangkat.
“Assalamu’alaikum...”
“Waalaikumsalam
wr wb,” jawab wanita imut ini dari
dalam rumah.
“Maaf ya, tadi mampir di Amira dan sekalian salat.”
“Iya, tidak apa-apa kok.”
Semalaman aku
menjaga kedua kantong mataku agar tidak tertutup, aku ingin
menemaninya sepanjang malam, sepanjang rembulan menyinari malam ini.
Sesekali
ketika Dia lelah mengetik pun
kita mengobrol, bercerita, dan bercanda. Di
ujung malam Dia sudah kelihatan letih, laporan tengah tahun tadi ternyata sudah
menguras pikirannya dan melelahkan kelopaknya. Aku lihat kedua mata lebarnya
sudah tertutup, dengan sangat hati-hati dan pelan-pelan, seperti maling yang secara diam-diam masuk ke
rumah target, aku mengankat laptop yang tenang bersandar pada kedua pahanya,
berusaha selembut mungkin agar ia tetap terjaga dalam mimpi.
“Kepakan
sayap sang malam menghempaskan panorama senja.
Ia
berhenti disebuah ranting dengan membawa keheningan,
Di
sisi yang lain ia menampakkan sejuta keindahan,
Kadangkala,
kedatanganmu mampu menggugah harapan,
Kadangkala,
kedatanganmu mampu menyisihkan harapan,”
Dunia
telah berganti peran, matahari tergerus senja, dan senja ditenggelamkan malam. Dia memberiku semangat baru, dia
membukakan sebuah jalan baru di kehidupanku.
Aku sangat bersyunyar
memilikinya, Aku
sangat bersyukur
mendapat kasih sayangnya. Wanita Borobudur
inilah yang mampu menginspirasi tulisan-tulisanku, inspirasi penuh dengan
keikhlasan yang tumbuh di daratan Marapu J.
Komentar
Posting Komentar