Marjan Tetap Ada untuk Kita
Memahami
alur kehidupan merupakan suatu hal yang terkadang menyulitkan bagi semua orang.
Lika-liku yang harus ditempuh menuntut kita untuk selalu siap bertarung
menghadapi tantangan. Kenyataan yang mampu memilukan raga harus kita terima
dengan lapang dada. Drama kehidupan terkadang membuat kobaran api semangat
semakin membara, terkadang juga membuat cucuran air mata membasahi telaga
kasih. Ketabahan dan keikhlasan harus selalu ditumbuhkan menghadapi drama
seperti itu. Marjan, ia mampu menunjukkan bahwa dirinya memiliki semua itu.
Salah
satu guru muda SMP Negeri 1 Rindi yang nasibnya terombang-ambing oleh PNPM,
sempat mempunyai keinginan untuk keluar dari SMP Negeri 1 Rindi dan mencoba
menaruhkan nasib ke Sumba Tengah atau Sumba Barat sebelum ia kembali ke kampung
halaman Bima, ternyata dia masih ada dengan kami.
Senin,
16 Juli 2012. Ketika seluruh guru sibuk dengan kegiatan MOS, saya dikejutkan
dengan kedatangan sosok wanita muda berjilbab. “Bu Marjan datang ke sekolah”, bisikku ke Ellys (rekan guru SM-3T)
yang duduk di samping saya. Marjan menyapa kami dengan senyum penuh kehangatan.
Saat itu saya dan Ellys sedang asyik mengobrol disela kegiatan MOS. Sangat
wajar jika kami terkejut dengan kedatangan Bu Marjan, karena memang di akhir
tahun pelajaran lalu, Bu Marjan sempat mengutarakan niatnya kepada Ellys untuk
keluar dari SMP Negeri 1 Rindi. Sekarang dia berdiri tepat di hadapan kami.
Pertanyaan muncul dalam pikiranku, “Loh...katanya
pulang?” Ternyata ia diminta oleh pihak Madrasah Ibtidaiyah Swasta (MIS)
Tanaraing sebagai tenaga pendidik tunggal untuk sementara. Senin itu bertepatan
juga dengan hari berdirinya MIS Tanaraing yang sudah direncanakan jauh-jauh
hari. Mengingat nasibnya di SMP masih belum pasti, Bu Marjan memutuskan untuk
menerima amanat mulia tersebut.
Pagi
itu ia datang ke sekolah bertujuan untuk menanyakan nasibnya di SMP Negeri 1
Rindi. Apakah masih dibutuhkan atau tidak? Sesaat pertanyaan tersebut langsung
terjawab oleh secarik kertas yang tertempel di dinding dekat meja piket, kertas
yang memaparkan jadwal pelajaran semester ganjil tahun pelajaran 2012/2013, dan
juga nama Marjan, S.Pd. masih ada dalam daftar guru SMP Negeri 1 Rindi.
Kemudian saat rapat dia mendapat penguatan dari Mama Mariana. Mama merupakan
salah seorang guru yang peduli terhadap nasib Bu Marjan. Dua hari lalu beliau
sengaja menyempatkan diri berkunjung ke rumah kepala desa dan pihak PNPM untuk
menanyakan sekaligus memperjuangkan nasib Bu Marjan. Selama dua hari Mama
selalu datang ke kepala desa dan PNPM. Akhirnya, mama mendapatkan janji dari
pihak-pihak tersebut. “Nama Marjan sudah masuk dalam daftar tunggu guru-guru
PNPM untuk tahun ini. Jika dia sudah masuk, Bu Marjan akan mendapatkan haknya, beberapa bulan ke depan tapi”, tutur
Mama. Mendengar kabar tersebut, senyum merona langsung muncul dari raut Bu
Marjan, dengan hati bahagia ia bersabar menunggu “beberapa bulan” tersebut.
Pada
kesempatan itu, Bu Marjan juga mengutarakan permintaannya. Berhubung dia sudah
menerima amanat di MIS, maka dia meminta kepada pihak SMP agar jadwal
mengajarnya disesuaikan dengan jadwal di MIS. Ia hanya bisa sampai pukul 10.00
WITA berada di sana untuk menemani anak-anak belajar. Setelah itu ia langsung
menuju menemui anak-anak SMP. Sisi ketabahan, keikhlasan, dan pengabdian
terhadap pendidikan yang luar biasa ditunjukkan oleh seorang guru muda.
MIS
Tanaraing, tempat Bu Marjan mengabdi memang baru saja berdiri. Memiliki 26
murid, sekolah yang didirikan dengan segala keterbatasan tersebut diharapkan
mampu mendorong anak-anak muslim di sekitar Tanaraing tidak malas belajar,
terutama mengaji. Sekolah yang memanfaatkan sebuah bangunan segi empat bekas
Masjid lama di daerah Tanaraing dijadikan tempat ke 26 murid tersebut untuk
menimba ilmu dan seorang guru muda berdarah Bima mencurahkan ilmu. Akhirnya,
ide dan perjuangan tokoh-tokoh masyarakat muslim Tanaraing terwujud. Harapan
membumbung tinggi untuk memajukan pendidikan anak-anak muslim Tanaraing.
Sekolah yang masih sangat membutuhkan bantuan baik moril maupun materiil untuk
kemajuan dan perkembangannya. Salah satu tumpuhan bagi anak-anak muslim
mengingat lokasi SD sangat jauh yang membuat mereka malas berangkat ke sekolah.
Keterbatasan ini semakin menguji seorang Marjan.
Sebagai
seorang guru muda, semangat pengabdiannya sudah teruji. Mendidik tanpa digaji
selama satu semester, tetapi ia tetap bersedia kembali ke SMP Negeri 1 Rindi
walau nasibnya belum jelas. Menerima amanat sebagai guru tunggal di sekolah
yang baru saja berdiri dengan murid yang hanya berjumlah 26 anak masih ingusan dengan memanfaatkan bangunan
bekas, ia menjalaninya dengan senyuman dan tatapan keikhlasan.
Sempat
kami tawari untuk maju mengikuti program SM-3T, tapi Bu Marjan kelihatan sangat
berat untuk keluar dari sini. “Saya berat sama keluargaku terutama tunanganku,”
tegasnya.
Jadi
sekarang, setiap pukul 10.00 Wita, kami selalu bisa melihat Bu Marjan. Anak-anak
pun masih bisa merasakan kasih sayangnya, dan SMP Negeri 1 Rindi tidak jadi
kehilanga sosok dirinya. Marjan masih ada untuk kita.
Terima
kasih Bu Marjan . . .
Pengabdian
penuh keikhlasan yang luar biasa kau ajarkan kepada kami.
Komentar
Posting Komentar