Hanya Sekolah Hingga Kelas 3 SR,
Zakariyah Nur Berpredikat Transmigran
Teladan
Kerasnya
kehidupan di pelosok Sumba memaksa sebagian besar orang harus berjuang untuk
bertahan hidup. Berusaha keras untuk lari dari kelaparan dan memaksa orang
memainkan akal pikiran untuk menggali potensi yang tersedia. Hal tersebut
membuat seorang laki-laki yang hanya bisa menikmati pendidikan sampai kelas 3
SR (Sekolah Rakyat) mampu berjabat tangan dengan Bambang Sudibyo, Menteri
Transmigrasi pada eranya.
Zakariyah
Nur, dilahirkan di Sumba Timur 75 tahun silam dengan 10 bersaudara. Beristrikan
wanita keturunan Bugis yang usianya 10 tahun lebih muda darinya, Asiya namanya.
Dengan dikaruniai 11 orang anak dari hasil cintanya dengan wanita berdarah
Bugis yang super cerewet, jelas Zakariyah sambil tersenyum, Zakariyah telah
membuat keluarganya menjadi keluarga yang sangat harmonis. Hanya dengan bermodal
“Tahu Baca” dan semangat tinggi, Zakariyah mampu menunjukkan diri kepada
khalayak bahwa tanpa pendidikan tinggi pun seseorang mampu berkarya. “Yang
penting bisa membaca dan ada kemauan yang kuat, semua orang pasti bisa,” ujarnya.
Beliau juga mampu membuat anak-anaknya terbilang sukses dalam belajar. Kesemua
anaknya tersebut bisa tamat SMA bahkan ada yang sarjana, kecuali anak pertama
yang tidak tamat SD karena sejak kelas 4 SD sudah turun ke laut untuk mencari
ikan guna membantu biaya sekolah adik-adiknya, Bapak Igo namanya. Bapak Igo
juga menjadi satu-satunya anak yang tinggal paling dekat dengan orang tuanya.
Adik-adiknya sudah merantau hampir di seluruh wilayah Indonesia, ada yang di
tanah Jawa, tanah Toraja, dan Kupang. Dari hal tersebut bisa dilihat bahwa Pak
Zakariyah sangat peduli terhadap pendidikan. Beliau pernah memaparkan
keprihatinannya terhadap pendidikan di sini kepada saya, bahwa anak-anak SD di
kampung Tanaraing masih banyak yang belum bisa membaca, termasuk kedua cucunya,
“Dalam Al-Qur’an pada ayat pertama yang turun juga memerintahkan untuk membaca.
Iqra: Bacalah. Jadi, baca dulu baru
tulis. Dengan membaca pasti pengetahuan lebih mudah didapat,” ujarnya.
Ketika
hamparan hutan Kesambi di daerah Kecamatan Rindi disulap oleh pemerintah
menjadi Translok (Transmigrasi Lokal) Tanaraing pada tahun 2007, Zakariyah Nur
terpilih menjadi transmigran teladan dan beliau berhak berangkat untuk
mengikuti pendidikan dan menimba pengalaman kepada petani-petani sukses di Bogor
dan Jakarta. Prestasi tersebut diperolehnya bukan tanpa usaha, beliau sangat
aktif dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan khususnya dilingkup kaum
minoritasnya, yaitu orang-orang muslim. Selain itu, beliau sangat peduli
lingkungan. Lahan kosong yang mengelilingi rumah panggungnya dijadikan lahan
perkebunan (sayuran dan buah-buahan) nan hijau yang setiap hari mampu
menyegarkan pikiran. Hebatnya lagi, jika beliau mulai bekerja di sawah, selama itu
juga beliau harus siap berada di sawah lebih kurang 24 jam. Meskipun harus
berhari-hari tidur dan makan, semuanya ia lakukan di sawah, hingga harus meninggalkan
anak-anak di rumah untuk bersekolah. Atas kerja kerasnya tersebut, beliau mampu
berjabat tangan dengan Menteri Transmigrasi kala itu, Bapak Bambang Sudibyo.
Lebih spesial lagi, beliau mendapat hadiah langsung dari bapak menteri di
Istana Negara Bogor sebagai 5 transmigran terbaik yang mengikuti pelatihan
tersebut.
Sepulang
dari Bogor dan Jakarta, beliau semakin termotivasi untuk memajukan kampung
Translok. Setahun kemudian, Dirjen dari Kementrian Transmigrasi berkunjung ke
Sumba Timur. Selain memiliki agenda untuk memberikan sosialisasi kepada
masyarakat, ternyata Pak Siswono mempunyai misi bertemu dengan beliau.
Kesempatan langka itu sangat dimanfaatkan oleh beliau untuk berbincang panjang
dan menunjukkan kondisi kampung Translok Tanaraing. Anehnya, beliau tidak
berani mengajak pak Dirjen datang ke rumahnya. “Ada alasan kuat memang,”
jelasnya sambil tersenyum. Karena penasaran, maka saya menanyakan alasan beliau
yang tidak berani mengajak bapak Dirjen berkunjung. beliau pun menjawab,
“Karena saya sudah berbohong pada pak Dirjen,” jawabnya sambil tertawa
mengenang saat-saat itu. “Saat berbincang dengan pak Dirjen, saya pernah
berbicara: Kita orang kampung Translok Tanaraing, siang kerja keras pukul
batu, malam tidak bisa tidur untuk jaga hewan orang kaya. Kami Cuma bertahan
karena dijanjikan sawah di bawah jalan menuju laut. Kami hidup bertahan di atas
batu karang. Jadi, kalau saya ajak ke rumah berarti saya telah berbohong
kepada pak Dirjen. Padahal rumah saya penuh dengan tanaman-tanaman hijau, maka
dari itu saya ajak ke rumah orang lain yang lahannya benar-benar kering,”
jelasnya sambil tertawa lebar. Ucapan beliau kepada bapak Dirjen tersebut
langsung didengar oleh pemerintah dan mendapatkan respon positif. Hanya dalam
kurun waktu 2 minggu setelah perkataan Pak Zakariyah, PT Adi Karya datang untuk
membangun selokan sebagai saluran untuk mengairi persawahan yang ada di kampung
Tanaraing. Perasaan bangga terlihat pada raut muka Pak Zakariyah saat
menceritakan pengalamannya tersebut.
Selain
lingkungan, keadaan SD yang ada di Tanaraing juga sangat memprihatinkan. Lokasi
yang jauh dari perkampungan, jalan setapak melewati hutan, dan sawah mewajibkan
anak-anak untuk datang ke sekolah meski tanpa beralaskan kaki. Lebih parahnya
lagi, ketika sudah jauh berjalan kaki menuju sekolah dan melewati beberapa
jalan yang becek, tiba di sekolah hanya disuruh untuk bermain. Salsa, anak
kelas 4 SD yang belum bisa baca ini pernah bercerita pada saya, “Kadang Saya
datang ke sekolah jam 9 tapi belum masuk dan mulai pelajaran, sering juga tidak
mendapat pelajaran,” tuturnya.
“Lah..guru-gurunya
kemana?” Kejar saya.
“Guru-gurunya ngrumpi
di ruang guru, makanya Saya malas datang ke sekolah, sudah jalan jauh tapi
hanya disuruh bermain, mending Saya bermain di rumah,” jelas Salsa.
Zakariyah Nur dengan sang Istri |
Keadaan
seperti itulah yang membuat Pak Zakariyah miris memikirkan kualitas pendidikan
di sini. Meskipun begitu, beliau tidak tinggal diam, beliau bersama beberapa tokoh
agama Islam berinisiatif untuk mendirikan lembaga pendidikan Islam, Madrasah
Ibtidaiyah di Tanaraing. Ide tersebut didengar oleh pihak Departemen Agama dan
diberi kesempatan jika memang mampu mencukupi syarat. Kemudian saya menanyakan
tentang alasan apa yang memunculkan ide tersebut, beliau pun menjawab,
“Anak-anak di sini sangat lemah dalam hal mengaji. Dengan adanya MI ini, Saya
berharap anak-anak muslim bisa lebih lancar mengaji dan mereka tidak harus
jauh-jauh datang ke sekolah, Alhamdulillah,,,didengar oleh Departemen Agama dan
semoga pada tahun pelajaran baru ini sudah bisa dimulai," penuh harap
beliau menjawab.
Semangat
kerja keras memang tidak pernah luntur dari seorang Zakariyah Nur. Meskipun
semakin dimakan usia, serta kaki yang hampir tak mampu menopang tubuhnya,
beliau masih sangat rajin bekerja. Setiap pagi seusai shalat dan mengaji,
beliau langsung berganti pakaian dan menuju ke kebun yang ada di sekeliling
rumahnya untuk merawat tanaman dan sayuran. Pernah pada suatu hari, saya
menawarkan berbagai bibit sayuran. Beliau menjawab dengan senyuman dan keesokan
harinya beliau langsung menyiapkan lahan untuk menanam bibit-bibit tersebut.
Pagi-pagi sekali beliau sudah memegang alat bercocok tanam. Zakariyah selalu
mendapat dukungan dari sang istri. Apapun yang dilakukan asalkan tidak
merugikan orang lain pasti selalu dibantu.
Pernah
juga nenek Asiya mengajakku untuk bercanda ketika melihat suaminya sibuk
bekerja di kebun, nenek langsung berbicara, “Nak, orang tua itu tidak tahu
usia.”
“Maksudnya,
Nek?” Tanya saya.
“Iya
tidak tahu usia, sudah tua dan sering sakit-sakitan tapi masih saja suka
mencangkul, timba air untuk tanaman-tanamannya,” sambil tertawa nenek
menjawabnya. "
Keluarga
yang sangat harmonis ini menjadi salah satu bukti dan kegigihan semangat
Zakariyah Nur, seseorang dari pelosok yang tidak beruntung dalam segi
pendidikan, tetapi sangat beruntung memiliki kegigihan, keberanian, dan
semangat yang sangat tinggi untuk maju. "Sesusah-susah dan
sekeras-kerasnya kehidupan, yang paling penting adalah pendidikan.”
Komentar
Posting Komentar