Langsung ke konten utama

Hati Tertalu di Tanahmu


Separuh Perjalanan

Keterbatasan yang terangkai sangat rapi pada kehidupan masyarakat Sumba Timur mampu merasuki rangkaian-rangkaian cerita yang ada dalam dunia pendidikan tanah Marapu ini. Berbagai corak fenomena yang muncul pada lingkup pendidikan anak-anak Sumba Timur selalu menemani langkah kakiku untuk menelusuri jalan setapak yang  kulalui ketika berangkat menggapai senyuman-senyuman mereka dan ketika pulang terkenang akan canda tawa mereka, anak-anak bangsa yang sungguh membanggakan

Dalam keterbatasan tersebut, sangat banyak hal-hal mengesankan untukku dan ketiga temanku. Kebiasaan-kebiasaan yang tertanam sejak dulu kala dan baru bisa dijumpai saat aku berada di sini. Hal itu mampu melengkapi cerita pengalamanku yang tidak akan berakhir. Setiap hari akan bersambung, setiap hari akan ada hal baru. Mentari memancar begitu bersahabat, udara sangat enak kurasakan, jalanku juga terasa sangat ringan, dengan sapaan “Pagi Bapak guru”, semakin menyamankan hatiku di tanah ini…

Tapi sayang kenyamananku sedikit ternoda di Senin pagi yang cerah. Ketika sepasang jarum yang menghiasi lingkaran angka 1 sampai 12 sudah menunjukan tepat diangka 7, itu berarti tepat pukul 7 pagi WITA. Belum ada guru satu pun yang datang terkecuali kami, saya dengan ketiga temanku. Padahal seharusnya pukul tujuh tepat sudah harus dilaksanakan upacara bendera. Saya dan teman-taman  guru 3T tidak berani mangambil alih untuk segera melaksanakan upacara, sebab ini merupakan upacara bendera kali pertamaku di SMP Negeri 1 Rindi, “Pasti ada yang beda yang belum kita ketahui” peringatku pada teman-teman. Untung sepuluh menit kemudian Mama Mariana selaku wakil kepala sekolah datang dan langsung memberi instruksi kepada seluruh siswa untuk segera membentuk barisan di lapangan dan petugas siap di posisi masing-masing. Saya pun sementara ini hanya bisa membantu. Keputusanku ternyata tepat, menunggu salah satu guru senior yang datang untuk memulai upacara, karena kebiasaan di sini memang seperti itu. Khusus untuk yang menjadi pembina upacara, dari dulu harus kepala sekolah, tidak boleh ada guru lain yang menggantikan terkecuali jika kepala sekolah berhalangan hadir, itupun wakil kepala sekolah. Dugaanku sama sekali tidak meleset mengenai tata cara pelaksanaan upacara bendera, banyak perbedaan yang saya lihat di sini dengan di Jawa. Saya pun mengikuti dengan khusuk memperhatikan jalannya upacara. Agar selanjutnya kami tahu dan mengerti. Disaat lagu Indonesia Raya berkumandang seraya dibentangkannya sang Merah Putih, dalam posisi siap sempurna dengan tangan kanan hormat menghadap bendera nan gagah tersebut, hati sungguh tersentuh seakan ingin meneteskan air mata. Sang merah putih mampu berkibar dan lirik karya W.R. Supratman sanggup berkumandang di tanah ujung paling selatan negara Indonesia.

Setelah upacara selesai, pembelajaran langsung berjalan aktif sesuai dengan jadwal yang sudah ada. Meskipuan masih banyak guru yang belum hadir. Senin itu saya mendapat jadwal mengajar di kelas VIII B pada jam ke 3-4. Pertemuan pertama anak-anak belum ada yang membawa seragam olahraga jadi saya memberi materi di kelas. Mencoba memberi anak-anak bangsa ini motivasi dan memunculkan keberanian dan percaya diri mereka untuk “ngomong” di depan kelas. 3D ternyata masih sangat populer di sini. Datang, Duduk, Diam di dalam kelas. Seperti itulah kondisi anak-anak, sungguh memprihatinkan. Mereka bukan hanya sekadar diam, tetapi diam mereka sambil menundukkan kepala. Saya mencoba bertanya, apa yang menyebabkan mereka seperti ini. Ternyata alasan mereka adalah malu. Tapi saya yakin bukan hanya karena malu yang membuat mereka diam dan menunduk. Ternyata selain malu, mereka takut salah untuk bertanya atau berbicara di depan kelas. Karena jika mereka salah, mereka pasti “dilapis” atau “dilipat” (istilah dihukum atau dipukul dalam logat Sumba Timur). Lah…..hal itu yang membuat mereka selalu menciut, selalu bisu dan selalu malu jika berada di kelas. Hal-hal seperti itu yang menjadikan pekerjaan rumah bagi kami selama satu tahun pengabdian di SMP Negeri 1 Rindi.
Aku harus bisa merubah mereka, Aku harus bisa memunculkan keberanian mereka untuk berbicara, dan Aku harus bisa memunculkan kepercayaan diri mereka. Terakhir, Aku harus bisa menananamkan karakter yang kuat dalam diri anak-anak bangsa ini.

Begitu beragam hal-hal baru yang bisa kunikmati di hamparan Sabana Sumba Timur sangat serupa dengan hal-hal yang ada di sekolah. Suatu hari disaat diri ini masih terhanyut dalam buaian indahnya mimpi di Tanah Sumba, di tengah perjalanan menuju bangunan yang pada depan gerbangnya disematkan identitas SMP Negeri 1 Rindi, senyumku dihadirkan oleh Mardiana salah satu siswiku kelas VIII A. Dia menunjukkan kesungguhannya untuk melaksanakan instruksi yang pernah saya berikan padanya. Ketika itu saya mencoba masuk ke kelas VIII A yang kebetulan saat itu sedang tidak ada guru mapel. Saya mencoba membuka pembicaraan di depan anak-anak dengan pokok bahasan soal pentingnya membiasakan diri untuk membaca. Saya masuk ke kelas tentu tidak dengan tangan kosong. Saya membawa empat buku yang kemudian saya tunjukkan kepada mereka. Buku-buku tentang budaya hidup sehat dan pelajaran tentang gizi makanan, yang sangat bermanfaat bagi anak-anak ini melihat kondisi lingkungan yang rawan menimbulkan berbagai macam penyakit. Alhasil usahaku tidak sia-sia, ketika saya bertanya kepada mereka, “Siapa yang berminat pinjam buku Saya?” seketika semua anak langsung mengangkat tangan…hehehe. Berhubung hanya ada empat buku, jadi saya jadikan tantangan untuk mereka. “Siapa yang bisa menemuiku paling pagi esok hari, maka ia yang berhak meminjam buku ini terlebih dahulu, siapa cepat dia dapat.” Tantanganku membuat anak-anak makin bersemangat.  Dan perempuan kecil bernama Mardiana ini menjadi anak yang pertama, ketika saya masih di perjalanan menuju ke sekolah, dia berjalan melawan arah saya dan menagih janjiku kemarin…hehehehe. Ya langsung saja saya pinjamkan buku itu padanya agar kebiasaan membaca dapat tumbuh tidak hanya dalam dirinya, juga untuk anak-anak yang lain. Saya bangga dengan anak ini. Dia membuktikan bahwa dengan segala keterbatasan, anak-anak Tanaraing masih memiliki sejuta semangat yang ada dalam diri mereka.

Musim hujan yang sangat bergelora membuat orang-orang terpaku di dalam rumah tidak bisa beraktifitas secara normal. Mentari yang hampir sepanjang hari tidak berani menampakkan wajahnya membuat awan hitam dan jutaan tetes air hujan semakin berpesta mengelabukan dan membasahi seisi bumi.  Pagi itu tepat pukul 07.45 WITA, hujan mulai reda meskipun masih jelas bekas-bekasnya, saya putuskan untuk segera berangkat ke sekolah. Sesampai di sekolah baru ada seorang guru, yaitu ibu Sarfiah, guru  Agama Islam yang ada di SMP Negeri 1 Rindi. Beliau piket hari ini, karena alasan itu beliau datang paling awal. Sementara guru-guru lain yang tinggal di mess sekolah masih belum ada yang terlihat siap mendidik anak-anak, bahkan dari kejauhan ada yang baru berjalan ke kamar mandi. Seperti inikah Pioner yang akan menjadikan anak-anak dari ujung selatan Indonesia mampu mengudara, menunjukkan karyanya ke seluruh pelosok Indonesia atau bahkan dunia?

Cuaca buruk menyebabkan anak-anak banyak sekali yang terlambat. Dari enam rombel, hampir setiap kelas yang hadir baru 7-8 anak, padahal jam sudah menunjukkan pukul delapan. 30 menit kemudian, dari pintu gerbang sisi selatan SMP terlihat segerombolan anak yang baru datang, mereka masuk gerbang sekolah dengan seragam basah kuyup tanpa bersepatu dengan rata-rata tiap anak membawa tiga buah buku dan sebuah bolpoin yang terbungkus rapi dalam sebuah kantong kresek. Hati saya terketuk oleh semangat dan kegigihan mereka untuk berangkat sekolah. “Aku bangga melihat anak-anakku.” Sayang sekali semangat dan kegigihan mereka tidak nampak dari gurunya. Suatu hari saya diherankan oleh sikap seorang guru. Dia bingung dengan jadwal mengajarnya, dia ingin selesai mengajar hari ini dan sesegera mungkin bisa istirahat, padahal dirinya masih memiliki dua jam pelajaran di kelas IX. Beberapa guru sudah mengingatkan dan bahkan ada yang menunjukkan secara langsung jadwal mengajarnya, tapi dia tetap bersikukuh tidak mau mengajar. Akhirnya kelas itu pun diisi guru lain…. Ada juga guru yang mengirim SMS kepada guru yang sedang piket, “Uda waktunya bel khan, Bu?” Dia sudah tidak betah lagi di kelas. Jadi, sebelum SMSnya dituruti, dia sudah keluar duluan. Dalam hati, aku berharap anak-anakku tidak mengikuti hal-hal buruk yang nampak pada guru mereka, “digugu lan ditiru” dalam hal yang baik dan layak dijadikan panutan saja. Disaat air hujan terus membasahi tanah Marapu, anak-anakku selalu menjadi orang yang paling sibuk di sekolahan. Setiap pagi agenda pertama yang harus mereka lakukan adalah mengepel. Duduk dan mengepel lantai depan kelas masing-masing terkadang juga dilanjutkan hingga teras kantor guru. Pemandangan di pagi hari yang selalu menciptakan hati enggan ‘tuk merasakan apa yang dilihat oleh mata.

Tidak berani lama menghanyutkan diri ke dalam keadaaan, karena aku harus siap memulai pembelajaran hari itu. VIII A sudah menungguku, salah satu kelas dari dua kelas VIII yang berisi dengan anak-anak aktif. Mereka menungguku di tengah lapangan sambil membawa sapu lidi. Tidak paham maksud anak-anak itu. Ternyata sapu itu digunakan untuk menyapu air yang menggenangi hampir seluruh sisi lapangan. Mereka sangat bersemangat menyelesaikannya, mereka sangat ingin segera melaksanakan pembelajaran, segera ingin bermain, segera ingin bersenang-senang denganku. Semangat mereka melecutkan semangat dan senyumku di tengah lapangan. Sepuluh menit waktu yag dibutuhkan mereka untuk menyapu genangan tersebut. Aku memulai pelajaran dengan memberi sentuhan anak-anak yang mampu membuat mereka membuka senyumannya untukku, membuka minatnya terhadap Penjas. Diawali dengan permainan-permainan asyik khas anak-anak, kelaspun berjalan sangat asyik dan seru, mereka lebih bersemangat, gembira, tertawa lepas, dan ramai. Pada akhir pembelajaran, aku meminta salah satu tim dari anak-anak ini yang kalah dalam permainan tadi untuk menari Sumba Timur…hentakan kaki dan liukkan kedua tangan mempesona mataku. Senyumanmu yang menemaniku pagi ini mampu menepiskan pagi yang diselubungi awan hitam dan diselimuti udara dingin yang mampu menembus tulang.

Setelah jam mata pelajaran penjas selesai aku juga langsung mengisi pelajaran TIK di kelas yang sama. Anak-anak yang merequest aku untuk masuk ke kelas. Di kelas aku disuguhi kelucuan-kelucuan mereka. Ketika aku bertanya, “sudah pernah melihat computer atau laptop?”
“Sudah, Pak guru” jawab mereka dengan lantang.
Saya lanjut bertanya,”Pernah mencoba memegang atau mengetik”
“Belum” sambil tertawa mereka menjawab.
Kemudian saya memberi instruksi kepada anak-anak untuk mengimajinasikan, di meja kalian masing-masing terdapat seperangkat komputer lengkap dan silakan mencoba praktik mengetik satu paragraf yang ada di bagian buku paket kalian. Sontak mereka langsung mengikuti arahanku, dan dengan keluguannya si Imanuel cuma duduk diam dan terus menoleh kanan kiri. “Ada apa Im? Mana komputermu?” Tanya saya.
“Saya tidak tahu bagaimana bentuk Komputer pak guru,” Im menjawab.
Oohhh…..hehehe, dan ekspresi-ekspresi sangat beragam muncul di kelas ini…
Mereka tidak pernah sekalipun memegang komputer meskipun setiap minggu mereka mendapat pelajaran TIK yang membahas tentang M. Word dan M. Excel. Anak-anak ini bingung bagaimana cara memulainya. “Bapak guru, saya tak tahu bagaimana komputernya, saya tak tahu, Bapak guru”…hehehe. Gambaran sebuah komputer dan program-programnya sementara hanya bisa mereka impikan. Mereka mendapat materi tapi mereka tak mampu menyentuh wujud dari materi itu. Selain TIK, aku juga pernah merasakan menjadi guru PKN. Orang Lapangan disuruh ceramah tentang ketatanegaraan…kaya’ menteri aja aku ini..hehehe. Tapi dengan segala keterbatasan itu, anak-anak ini mengajariku untuk tertawa, untuk berbahagia dengan kondisi yang serba terbatas ini…, dengan keluguan dan ketidaktahuannya, mereka membuatku tersenyum bahagia berada di sekelilingnya.

Suatu hari Saya dan Mufti mendapat kesempatan mengisi jam ibadah, membimbing anak-anak muslim mengaji sebab Bu Sarfiah berhalangan hadir ke sekolah hari itu. Keprihatinan kami bertambah saat mengetahui kemampuan anak-anak dalam mengaji. Mereka masih banyak yang belum lancar membaca Alquran dan bahkan banyak yang masih Iqra’,  itupun belum begitu lancar. Padahal anak-anak ini sudah berusia rata-rata 17 tahun. Masya Allah…apakah orang tua mereka di rumah tidak pernah mengajarkan mereka untuk mengaji atau bahkan orang tua mereka juga tidak pernah mengaji? Padahal ketika Saya kecil, bapak emakku sampai memukul agar anaknya mau berangkat mengaji dan hampir semua anak-anak di Jawa merasakan seperti itu. Apakah karena pengaruh minoritas? Yang membuat Saya dan Mufti tertawa heran, saat salah satu muridku, Sumarni namanya. Kami coba uji untuk menghafal surat-surat pendek di depan kelas. Saat itu, dia kami suruh untuk melafalkan surat Al-Kafirun. Dengan percaya diri yang super, ia melafalkan ayat pertama, “Al Kaaafiruuuuuunnnnnnnnnnn………..” Hmmmm…..aku dan Mufti Cuma bisa tertawa dan menggaruk kepala. Hal-hal yang hampir serupa juga pernah dialami oleh Mufti. Ketika selesai menjelaskan di depan kelas dan kemudian dia bertanya kepada anak-anak, “Sudah paham??” Jawaban selalu dan selalu tidak, tidak, dan tidaaakkkkkkkkkkkk, belum pernah sekalipun terdengar jawaban iya….iya….iya.

Saat dia mengajar Fisika yang sebenarnya mendapat alokasi waktu 2 jam pelajaran, mufti dengan terpaksa harus merelakan 1 jam untuk anak-anak. Ketertarikan anak-anak terhadap Jawa membuat Mufti harus mengajar 2 mata pelajaran dalam 2 jam, yaitu 1 jam Fisika dan 1 jamnya Bahasa Jawa. Saling bertukar bahasa membuat tertawa khas mufti keluar.

Jika di awal tadi pembelajaran Penjas harus diawali dengan menyapu genangan air, kali ini anak-anak mengawali dengan menyapu kotoran kuda yang sangat melimpah di lapangan. Anehnya, mereka tidak pernah merasa risi dengan kotoran itu. Dalam pikiran mereka, yang penting aku bisa bermain di lapangan meskipun harus membersihkan kotoran kuda terlebih dahulu. Bahkan dengan tidak ada keraguan, kotoran kuda dibuat mainan anak-anak, diaduk dicampur dengan air yang juga menggenangi lapangan kemudian memanggilku, “Bapak guru kesini! Coba lihat!” lalu aku bertanya “Memang ada apa?”
"Ini ada kolak taik kuda, Pak guru mau coba…?” hahaha. Aku dikerjain anak-anak.
Semangat mereka menyapu kotoran kuda membuatku langsung terbangun. Membuatku memberikan yang terbaik untuk mereka, membuatku ikut berlari, melompat, dan tertawa bersama mereka di tengah lapangan.

Keesokan harinya lagi-lagi lapangan basah akibat guyuran hujan semalam, Membuat anak-anakku harus bekerja terlebih dahulu sebelum memulai pembelajaran. Kelas IX A akhir-akhir ini sangat memprihatinkan, kelas yang hampir tiga bulan ini membuatku kagum kepada mereka. Namun sekarang membuatku kecewa. Tingkat kehadiran anak-anak yang semakin hari semakin berkurang membuat kelas ini menjadi sorotan bapak ibu guru dalam kurun waktu satu minggu ini. Dari 27 jumlah siswa yang ada di kelas ini hanya 9 anak yang hadir, tingkat kehadiran yang sungguh memprihatinkan. Entah dengan berbagai alasan anak-anak ini tidak hadir. Jadilah, lapangan yang cukup luas untuk bersembilan anak ini. Cuaca pun sangat mendukung untuk hari ini, diakhir pembelajaran aku memberi kesempatan pada anak-anak ini untuk mengobrol santai sebelum kembali ke kelas. Welik, Ani, dan Ina sangat antusias. Tak ketinggalan Rio dan Marak yang lumayan dekat dengan aku. Mereka bertanya banyak tentang kehidupan di Jawa, terutama kondisi sekolah dan siswa-siswi Jawa. Mungkin, karena mereka hampir setiap hari mendapat pukulan, mendapat bentakan-bentakan dari guru-guru di sini, sehingga membuat mereka sangat penasaran dengan kondisi pendidikan di Jawa. Saat aku menceritakan, hampir setiap tahun di Jawa ada siswa yang tidak naik kelas, mereka langsung kaget dan bilang “ngeri ya sekolah di Jawa, apa tidak ada nilai pengasihan pak guru?”
Asyik bercerita, tiba-tiba Welik, Ani dan Ina bicara, “jika pak Ali pukul kami, pak Ali tidak bisa pulang ke Jawa”.
“Lah…kenapa tidak bisa pulang?”
“Ya…tak kasih obat Sumba to pak guru biar tidak bisa pulang.”
Membuatku terhanyut dalam kegembiraan mereka, aku ikut tertawa, aku ikut berteriak, aku ikut berlari mengejar mereka, anak-anak yang menyenangkan. Aku sangat bahagia bersama mereka, bersama keluguanya, kelucuannya, dan ketidaktahuannya. Aku merasa kembali ke masa SMP lagi, pada jaman ketika aku belum mengenal yang namanya cinta, saat itu yang ku kenal hanyalah teman dan belajar.

Tawanya yang akan selalu menghiasi telinga kita,
Senyumannya yang akan selalu menemani langkah kita,
Dan, keluguannya yang akan selalu menggugah senyum kita,
Tapi, tangisannya yang akan mengantar kita disaat kelak kita pulang….

Kriek…..kriek…..kriek….
Suara besi tua pengungkit yang menemaniku di pagi hari.

Teng….teng….teng….teng…..teng….teng…..teng…teng….
Suara besi tua bel yang menemaniku dan anak-anak di siang hari.

Suara-suara tersebut akan menjadi kenangan yang tak bisa ku lupakan. . .

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mentolerir Rindu

Usai lama sudah Bagaimana nyummu punya kabar? Nyungga sedang pi ambil potongan-potongan kenangan Usai lama sudah Rumah tak lagi tersentuh pena Usai lama sudah Nyungga tak lagi mendengar nyummu punya suara Usai lama sudah Air panas tak membelai lidahku Usai lama sudah Pinang Sirih tak meraba bibirku Usai lama sudah 13 Des 2018 To: Kakek Nenek - Tanaraing - Rindi - Sumba Timur - NTT

B A N D U S A

Untukmu Bandusa Rambut gondrongmu sudah pendek Begitupun warnanya, pun sudah hitam  Gincumu sudah tak nampak, entah kemana  Begitupun eye shadow dan blas on Bebatuan emas juga tak bergelantungan di tubuhmu Kamu juga sudah mulai bisa berbaris, meski tidak rapi Sepatu pun sudah tak lagi tersimpan bersama ternakmu Lingkaran perjudianmu juga sudah tak lagi menyapa Kau ganti dengan permainan tradisional penuh tawa Meski, seragammu tak layak, tetapi semangat kakimu meninggalkan waktu tanam dan ngarit perlu diacungi jempol Teruslah datang setiap hari ke sekolah, Nak! Penuhi tawamu, penuhi bahasamu Bukan materi bertema-tema yang ingin kujejalkan, tetapi mari bersama belajar beretika yang kurang kau dapatkan