Selamat pagi. . . :)
Senyum mengembang menyahut sapaan dari seorang gadis Solo, semangat terpancar dari bola mata melawan cerahnya mentari. Berjalan membelakangi terbitnya cahaya pagi membuat tulang belakangku memberontak tak karuan, seolah ingin melepaskan daging-daging yang menempel seperti benalu. Pori-pori bajuku memberi jalan bagi sinar mentari masuk menyentuh kulitku, menghangatkan dinginya pagi, mencairkan bekunya hati.
Membelokkan langkah kaki ke sebuah lorong jalan, pikiran memberontak, keringat mengucur membasahi sekujur tubuh. Kaki berat untuk melangkah lagi, mata enggan untuk terus membuka menyambut cahaya yang masuk untuk menerangi mata kaki. Lisan tak jua mampu bersuara sementara peluh terus mengalir membasahi bulu-bulu mata. Aku tak tahu juga jalan apa yang sekarang ku lalui, yang ku ingat hanyalah sekarang aku sedang berperang dengan kemalasan, berjuang mengembalikan semangat.
Kembali berkeliling di gendang telinga sapaan gadis tadi, seperti kerinduan kapada mentari pagi yang sudah mulai enggan menyapaku, ataukah aku yang mulai tidak bersahabat dengannya. Senyum mengembang pun percuma apabila mentari tak ingin menyambut senyumku. Usah aku menanyakan kenapa, karena semua akan terjawab jika aku mampu memenangi peperangan itu.
Rambut ini sudah gondrong kusam tak bercahaya, seperti seorang bocah penggembala kambing yang asyik bermain di kali. Badan kurus, kulit legam, hanya ingin bermain dan bermain. Tak peduli teriknya matahati tepat di atas ubun-ubun, tak peduli ulat sawah berjalan-jalan mulai kaki hinggga kepala. Panas dan gatal sudah menjadi teman sehari-hari. Aku ingin seperti bocah penggembala itu, tak peduli dengan panas dan gatal, akan tetapi terus berperang dan berjuang demi semangat yang sudah meredup.
# Mencairkan bekunya hati
Senyum mengembang menyahut sapaan dari seorang gadis Solo, semangat terpancar dari bola mata melawan cerahnya mentari. Berjalan membelakangi terbitnya cahaya pagi membuat tulang belakangku memberontak tak karuan, seolah ingin melepaskan daging-daging yang menempel seperti benalu. Pori-pori bajuku memberi jalan bagi sinar mentari masuk menyentuh kulitku, menghangatkan dinginya pagi, mencairkan bekunya hati.
Membelokkan langkah kaki ke sebuah lorong jalan, pikiran memberontak, keringat mengucur membasahi sekujur tubuh. Kaki berat untuk melangkah lagi, mata enggan untuk terus membuka menyambut cahaya yang masuk untuk menerangi mata kaki. Lisan tak jua mampu bersuara sementara peluh terus mengalir membasahi bulu-bulu mata. Aku tak tahu juga jalan apa yang sekarang ku lalui, yang ku ingat hanyalah sekarang aku sedang berperang dengan kemalasan, berjuang mengembalikan semangat.
Kembali berkeliling di gendang telinga sapaan gadis tadi, seperti kerinduan kapada mentari pagi yang sudah mulai enggan menyapaku, ataukah aku yang mulai tidak bersahabat dengannya. Senyum mengembang pun percuma apabila mentari tak ingin menyambut senyumku. Usah aku menanyakan kenapa, karena semua akan terjawab jika aku mampu memenangi peperangan itu.
Rambut ini sudah gondrong kusam tak bercahaya, seperti seorang bocah penggembala kambing yang asyik bermain di kali. Badan kurus, kulit legam, hanya ingin bermain dan bermain. Tak peduli teriknya matahati tepat di atas ubun-ubun, tak peduli ulat sawah berjalan-jalan mulai kaki hinggga kepala. Panas dan gatal sudah menjadi teman sehari-hari. Aku ingin seperti bocah penggembala itu, tak peduli dengan panas dan gatal, akan tetapi terus berperang dan berjuang demi semangat yang sudah meredup.
# Mencairkan bekunya hati
Komentar
Posting Komentar