Langsung ke konten utama

Bersama Menyambut Sang Surya, Bersama Menyapa Senja.


Di sini aku duduk, sebuah kursi merah dan meja kayu gagah berdiri di hadapanku menemani hari-hariku sekarang. Ketika pagi mengawali dudukku di kursi ini, tajamnya sinar mentari menembus kaca jendela hingga mengeluarkan bulir-bulir peluh di keningku, dan ketika sang matahari lurus tepat di atas kepala, bilik jendela tersebut menjadi pintu angin yang menghamburkan kertas-kertas di mejaku. Danau yang membentang dengan jernihnya air terus memantulkan sinar matahari, tak ingin kalah bentangan kaca-kaca pada gedung belum sempurna itu terus bersaing dengan jernihnya air pada danau tersebut. Berterbangan di atas hundukkan-hundukkan awan putih yang membentuk berbagai binatang melengkapi rerimbunan pohon di hutan kota Unesa, menjadi penyejuk bagi udara lembab yang tak henti-hentinya menyelubungi langit Surabaya.

Aku sedang berada di dalam gedung berlantai sembilan. Satu-satunya bangunan yang berdiri kokoh di almamaterku yang tak segan menandingi gedung-gedung pencakar langit di sekelilingnya. Dua puluh empat pasang mata menemani pagi hingga soreku. Bersama menyambut sang surya, bersama menyapa senja.

Masih nampak legamnya kening yang mereka bawa dari tanah Marapu, penuh dengan kenangan, penuh dengan inspirasi. Gambaran perjuangan di tanah Sumba selalu mereka tumpahkan di setiap selasar gedung ini, menjadi syair yang setiap hari mengalun menelusuri indera pendengaran ke 279 peserta PPG SM-3T UNESA 2013.

Dari lantai empat tempatku menumpahkan pikiran, ingatanku tiba-tiba mengajak berbalik ke masa awal kami masuk gedung ini. Masa berlamur suka cita karena penantian kami semua telah usai. Empat bulan menahan rasa rindu sungguh menambah berat masa penantian menunggu kepastian jadwal PPG. Hatiku juga diam-diam menanti, kembali melihat wajahnya, merasakan semburat sinar yang keluar dari lebar kedua matanya, mendengar alunan lembut tutur katanya dan kembali berjabat tangan hangat dengannya, telah menjadi penantianku.

Rentetan tiga hari terakhir di bulan Februari menjadi hari-hari penuh kebahagiaan bagi kami semua. Kebahagiaan bisa kembali bersua dengan teman-teman seperjuangan dalam acara Program Pengenalan Akademik (PPA) dan yang terlebih istimewa kebahagiaan bisa menjadi angkatan pertama yang menempuh Pendidikan Profesi Guru (PPG).

Arahan demi arahan dari para Guru Besar memenuhi saku kami, mereka memberi bekal awal kami untuk melangkah membuka pintu gedung PPG untuk kali pertama. Kelembutan sentuhan para wanita hebat dan lelaki gagah UNESA membuat hati kami bergetar sesak karena kenyamanan yang ditumpahkan kepada kami.
Halaman gedung yang masih berlumur lumpur membuat sebagian dari kami harus merelakan sepatunya tertelan tanah luber itu. lalu lalang para pekerja masih melengkapi belum rapinya gedung tinggi besar ini. Dengan senyuman, kami menyapa rumah kami, dengan semangat NKRI kami melangkah menembus percikan-percikan debu yang mengancam kesehatan kami.

“Selamat datang...!!!” sapaan lembut dari butir-butir debu dari dalam gedung.

Debu sungguh berlimpah di dalam gedung, menari-nari di atas lantai, hingga dataran yang ku pijak tak mampu bersinar. Debu itu seakan ingin membentuk sebuah gunung di dalam dunia profesi guru. Untung saja disetiap lantai terdapat Kartini-Kartini yang tidak membiarkan debu itu semakin menggunung. Sayangnya tumpukkan limbah kardus telah lebih dahulu membentuk gundukkan di lantai dasar, hingga hanya menyisakan setapak dua tapak bagi kami menitih jalan menuju ruang tempat bertaruh dengan lebel profesi.
Di penjuru gedung yang masih sangat kotor, terlihat senyuman para pekerja mengindahkan langkah kami, dengan kerutan di keningnya, peluh di punggungnya dan legam pundaknya mereka terus membanting tulang menyempurnakan rumah kami. Senyumku kontan merekah ketika senyuman mereka menyapaku. Mereka saja bisa tersenyum bahagia masa’ aku tidak bisa :)

Suara pengabdian yang sempat meredup kembali menggema di dalam koloseum berlantai sembilan ini. Dengan senyuman anak-anak Sumba yang terus membayangi mimpi-mimpi Pak dan Bu Guru, merantai bersama keluguannya yang seakan menarik roda kehidupanku untuk berputar di tanahnya. Sekadar memenuhi kerinduanku terhadap mereka, beberapa bingkai yang tertata rapi dalam keranda fileku, ku buka satu persatu. Terkadang tirai senyumanku terbuka sendiri tertepah senyuman mereka, terkadang juga haru menyelimuti ketika suasana perpisahan kembali menggelayuti. Selamat pagi Pak dan Bu yang selalu ku rindukan.

Mampukah kami menuntaskan? Pertanyaan yang menjadi sebuah tantangan bagi kami setahun ke depan. Jadwal merayap seperti kepadatan kendaraan di Surabaya, di tambah lagi kehidupan berasrama menjadi rutinitas kami setahun ke depan. Mental baja, fisik besi menjadi modal. Kondisi gedung sekilas nampak dipaksakan menguji kekuatan tiga T kami kembali. Mengkilatnya kulit sepatu yag dihantam mentari pagi selalu berpapasan dengan pasir berlumur tanah, bekasnya melekat hingga senja menemani langkah kembali ke asrama. Menapaki susunan tangga sambil membungkus hidung dengan selembar kain ataukah telapak tangan, merupakan aktivitas kami sebelum meletakkan kedua tangan di atas meja kayu ini.

Langkah awal menuju guru profesional memang begitu menantang kami. Kami dituntut profesional dengan keadaan yang ada. Para pimpinan pun ikut berbaur merasakan keadaan yang serba dipaksakan ini, mereka dengan profesional melayani kami, memberikan yang terbaik dari yang ada, memberikan kenyamanan semaksimal mungkin untuk kami. Kami berbalut lumpur, mereka juga. Kami menari bersama debu, mereka juga. Kami mendaki tangga, mereka juga. Keluarga yang luar biasa terlahir di dalam gedung ini.
Apel pagi kali pertama membuka keran semangat kami, deras alirannya semoga bertahan hingga kami keluar dari gedung ini dengan menggendong lebel profesional pada pundak kami. Indonesia Raya menggema menembus dinding-dinding kokoh ini. Bayangan guru-guru masa kecilku seolah berdiri dihadapanku, mereka yang telah membentuk diriku seperti ini, dari lantai dua nyanyian Hymne Guru menggetarkan sukma menegakkan bulu kudu di sekujur tubuh. Hanya dengan memejamkan mata dan tarikan nafas panjang kubuyarkan keinginan kedua kelopakku untuk membasahi pipi.

Wajah anak-anakku yang berada di ujung selatan Indonesia sesekali menghiasi selasar tempatku berdiri, bayangan mereka masih sangat kuat ketika lirik Satu Nusa Satu Bangsa dinyanyikan di antara kedua lagu tadi. Mengingatkanku saat-saat upacara bendera rutin hari senin, karena lagu tersebut selalu mereka nyanyikan setelah merah putih berkibar mencakar biru langit Rindi. Suasana khikmat apel yang setiap pagi kami laksanakan semakin meninggikan nasionalisme kami. Berbalut kain putih hitam, dengan bangga kami menunjukkan ketangguhan menghadapi Pendidikan Profesi. Aku ingin menjadi guru yang mampu menginspirasi, seperti yang disampaikan Pak Rektor saat PPA. Ya...Merah putih di dadaku.

Seperti angin yang tak pernah berhenti berhembus, kami para guru yang sedang digodok siap memberikan yang terbaik buat bangsa. Gemercik hujan di luar sana tidak mampu menggoyahkan kegaduhan kelasku, kelas yang penuh warna. Di segala sudut alunan-alunan musik selalu menemani jemari kami mengorek pikiran-pikiran logis demi anak-anakku, menumpahkan pada seperangkat pembelajaran yang kami rancang. Riyuh senyum para gembala kecil yang menantang matahari di tengah sabana menumbuhkan rindu di hatiku. Senyuman mereka telah menjadi kekuatan semangat pengabdian kami.

Desiran angin merangkul tubuhku bermain bersama imajinasiku, aku pun terbangun oleh permainannya. Mengintip keluar ternyata langit biru sudah terbias cahaya merah. Hiruk pikuk teman-teman menyibukkan telinga, bersiap meninggalkan ruangan dengan seambrek pekerjaan yang belum tuntas, menambah berat langkah kami menuruni tangga. Seharian menghabiskan waktu di balik meja kerja masing-masing, menguapkan sementara persoalan di luar perihal PPG. Waktu, pikiran hanya tercurah di dalam gedung megah ini. Setiap hari kami di sini, bersama mentari pagi, bersama matahari senja. Kami menjadi saksi terbit dan tenggelamnya matahari.

Dari bilik-bilik jendela setiap lantai, tajamnya samurai sang senja menusuk kedua bola mata. Sinarnya mengundang debu yang kembali menunjukkan keganasannya, lalu lalang keceriaan hamparan debu kembali menemani langkah kami di senja ini. Menjinjing tas, menyikap lengan baju, kulangkahkan fantovel kusamku menuju jalan setapak yang kanan kiri berpagar kardus-kardus besar. Seng-seng mengkilat telah menunggu kami di ujung jalan, seperti mengkilatnya jajaran gigi para  gembala kecilku yang menunggu di sana. Di tanah marapu, Sumba. :)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mentolerir Rindu

Usai lama sudah Bagaimana nyummu punya kabar? Nyungga sedang pi ambil potongan-potongan kenangan Usai lama sudah Rumah tak lagi tersentuh pena Usai lama sudah Nyungga tak lagi mendengar nyummu punya suara Usai lama sudah Air panas tak membelai lidahku Usai lama sudah Pinang Sirih tak meraba bibirku Usai lama sudah 13 Des 2018 To: Kakek Nenek - Tanaraing - Rindi - Sumba Timur - NTT

B A N D U S A

Untukmu Bandusa Rambut gondrongmu sudah pendek Begitupun warnanya, pun sudah hitam  Gincumu sudah tak nampak, entah kemana  Begitupun eye shadow dan blas on Bebatuan emas juga tak bergelantungan di tubuhmu Kamu juga sudah mulai bisa berbaris, meski tidak rapi Sepatu pun sudah tak lagi tersimpan bersama ternakmu Lingkaran perjudianmu juga sudah tak lagi menyapa Kau ganti dengan permainan tradisional penuh tawa Meski, seragammu tak layak, tetapi semangat kakimu meninggalkan waktu tanam dan ngarit perlu diacungi jempol Teruslah datang setiap hari ke sekolah, Nak! Penuhi tawamu, penuhi bahasamu Bukan materi bertema-tema yang ingin kujejalkan, tetapi mari bersama belajar beretika yang kurang kau dapatkan