Langsung ke konten utama

Puzzle Kerinduan


23 Januari 2013, tepat pukul 5 pagi hpku berbunyi, mengisyaratkan sebuah pesan singkat mampir ke inbox ku. Sembari merapikan dua lembar kain yang setia aku kenakan disaat waktu bersimpuhku kepadaNya, aku membuka dan menelaah isi pesan singkat itu. Sapaan penyemangat menyongsong mentari datang dari Mbak Andra, salah satu rekan yang setiap hari duduk di kursi sekretariatan SM-3T Unesa. Akhir-akhir ini Mbak Andra rajin mengirimkan sapaan penyemangat diujung malam.

“Selamat pagi teman, semoga hari ini kebahagiaan dari Allah SWT, selalu menyertai kita. Kebahagiaan terus menghinggapi langkah kita…aamiin. Ali…kamu berangkat ke Sumba Timur bersama Juliar :)”

Seutas kalimat itu sanggup menghentikan kedua tanganku merapikan lembaran kain suciku. Betapa tidak, sapaan tersebut menghadirkan rasa yang tidak bisa kuterkah.

“Benarkah Mbak” sepasang kata tersebut aku hantarkan untuk membalas kabar dari Mbak Andra.

“Iya Ali…nggak nyangka kan kamu bisa berangkat? Itu semua keajaiban dari Allah..semangat”

“Alhamdulillah….terima kasih banyak Mbak” kejutan di pagi hari yang sungguh luar biasa. Mengetuk kerinduanku terhadap Sumba, menggelegar ke segala sudut rasaku. Seakan sebentar lagi meluapkan tumpahan kerinduan yang hampir segunung. Impianku terwujud lebih cepat. Aku akan kembali ke Sumba Timur, aku akan memorak-porandakan puzzle kerinduan yang telah terbentuk selama empat bulan ini.

_________________

Sore itu, hujan tiba-tiba datang menerpa badan Wings Air. Padahal, baru beberapa detik kakinya menyentuh tanah kapur. Bibirku tak mampu membuka ketika kedua mataku memandang atap bangunan Umbu Mehang Kunda. Hati sungguh terenyuh, melihat atap biru, kerinduanku akhirnya terobati, salah satu impianku terwujud lebih cepat. Tanpa sadar sebutir air keluar dari sepasang kelopak mataku, sembari menghela nafas yang sangat dalam, puzzle kerinduanku akhirnya terbongkar. Ya....sore itu aku kembali ke tanah Sumba. Kehidupan Marapu yang sudah sangat kurindukan. Kedatanganku bersama 8 orang yang tergabung dalam tim Monev SM-3T UNESA disambut dengan hujan lebat. 30 Januari 2013, aku seketika terdiam, beberapa detik aku tak beranjak dari tempat dudukku. Terlihat satu demi satu tim sudah melangkahkan kaki dengan cepat menuju ruang kedatangan. Aku menjadi orang terakhir keluar dari badan Wings Air.

Kulangkahkan kakiku lebih cepat keluar pesawat, aku ingin segera merasakan kembali permukaan tanah Marapu, yang selalu memberi kenyamanan. Tanpa dilindungi oleh sebuah bentangan payung, tubuh ini terbasahi oleh hujan. Berlari sambil melindungi tumpukkan kertas yang menjadi hak peserta SM-3T 2012. Anak-anakku, keluargaku, SMPku, Rindiku, Tanaraingku, semua sedang berkerumun di dalam pikiranku. Begitu kuat mereka merasuki kenangan-kenanganku. Pandanganku terus sibuk menuju ke segala sudut Bandara, berharap ada rupa yang kukenal. Beberapa menit kemudian, kesibukanku itu dibangunkan oleh Mas Juliar, karena kami harus segera beranjak, menuju ke Rumah Sakit untuk menjenguk peserta yang sedang di rawat.

Masih dihanyutkan lamunan akan rasa rindu, menengok keluar jendela mobil, ternyata hujan tak terasa sudah reda, tetapi kenangan terus membuatku terlena. Ketika rombongan kami tiba di rumah sakit, ukiran perjalananku selama satu tahun di Sumba semakin membuka mataku. Terkenang ketika dahulu aku mengantar, menjaga teman yang sakit. Serupa dengan yang aku lihat saat ini. Kondisi jauh dari orang-orang tercinta, peserta harus dihadapkan dengan fenomena Malaria yang tidak pernah segan menyapa mereka. Satu orang tergeletak di kasur, sementara satu atau dua orang siaga menemaninya. Meninggalkan sesaat anak-anak bangsa di sekolah, yang siap menulis pada lembaran memori mereka.

Menu santap sore Mr. Cafe mampu mengobati sepetak kerinduanku, Sop Buntut yang ditemani segelas jus Alpukat mengingatkanku kepada seseorang yang memunculkan pembeda pada diriku. Menu favorit ketika turun ke Waingapu. Kebahagiaanku saat ini benar-benar tidak bisa kubendung, sampai daya tangkapku ketika ngobrol sedikit berkurang. Gemericik canda tawa dari seluruh tim menyibukkan telingaku, tapi pembicaraan mereka tak sedikitpun bisa kutangkap. Perasaan tidak percaya aku bisa kembali ke Sumba masih menghantui diriku, ini terlalu cepat bagiku.

Taman kota nampak sepi, hanya kerlap-kerlip cahaya para penjual makanan yang mengindahkan tempat berkumpulnya merpati-merpati muda. Memandangi segala sudut tempat ini, seakan bayangan teman-teman masih melekat di kerumunan muda-mudi tersebut.  Canda tawa teman-teman masih menggema di sudut-sudut taman itu, jenakanya teman-teman saat melampiaskan kerinduan masih bisa kurogoh dalam kantong ingatanku. Malam hadir, Waingapu kembali memaksa kakiku untuk berjalan menikmati trotoar pusat kota. Dengan langkah kaki sangat pelan, aku merabah moment yang pernah aku lewati di sini. Dalam hati, aku masih belum percaya saat ini aku sedang berjalan kaki dari Hotel Elvin, tempat kami mengistirahatkan penat menuju Taman Kota.
­­­­­_________________


Kumandang adzan terdengar sangat lirih dari balik pintu kamar nomor 105 Hotel Elvin. Menggigilnya udara pagi Sumba Timur menyapa kulitku kembali. Dingin itu tak mampu menghalangi semangatku yang tidak bisa dibendung dengan apapun. Bersimpuh, bersyukur dan berharap kepadaNya, mampu menenangkan hati, menjernihkan pikiran. Saat mentari memancarkan senyumannya, saat sinarnya menembus kaca jendela, saat cahayanya menyilaukan mata, aku juga tidak ingin kalah, akan kupancarkan senyumanku kepada anak-anak bangsa. Aku siap mendapatkan kenangan dari mereka lagi, aku siap mendengar sapaan mereka lagi, aku siap tertawa lagi karena keluguan mereka.

Kebahagiaanku terasa memuncak ketika aku mendapat tugas untuk melaksanakan Monev di Rute 2, rute yang merupakan wilayah tugasku saat menjadi peserta SM-3T. Aku tidak bisa menyembunyikan kebahagiaan ini, tidak ada kain hitam yang bisa kujadikan tutup wajahku, tidak ada payung yang melindungiku dari kucuran keringat, kucuran keringat seperti hujan lebat menerpah sekujur tubuhku. Tepat pukul 07.30 Wita, kami meluncur meninggalkan kota Waingapu. Tujuan pertama kami adalah SMP N Satap Walatungga yang berada di wilayah kecamatan Pandawai. Rinduku terhadap Sumba petak demi petak mulai terisi. Jalan berbatu kapur memantulkan cahaya, masuk menuju kedua bola mataku, merupakan sapaan hangat dari tanah Sumba. Kanan kiri hanya terlihat padang batu karang yang sudah menghijau, sangat hijau dan segar. Lain dengan kondisi 4 bulan lalu, padang sabana tersebut berwarna cokelat nan menghitam, hanya terlihat bongkahan-bongkahan batu karang. Dari kejauhan terlihat rombongan kuda Sandle yang berpesta menyambut hijaunya tanah mereka. Ringkikan itu akhirnya kudengar kembali. Perjalanan panjang menyusuri bukit karang mampu menggugah senyumku. Inilah salah satu puzzle kerinduanku terhadap Sumba.

Apalagi, ketika tiga anak kecil berbalut seragam putih merah berjalan menuju sekolah dengan membawa satu ikat kayu bakar, yang diletakkan pada masing-masing pundaknya, mampu membakar hatiku hingga menjadi abu, melarutkan pada wajah anak-anakku. Ketegaran mereka menjalani hidup serba terbatas ini menjadi pelajaran penting bagi kita, yang hanya mengenal Indonesia di Jawa saja. Tidak terlalu lama kemudian, aku melihat salah satu anak kecil, memperhatikan apa yang dikenakan saat itu, mencoba menebak, mungkin dia juga adalah salah satu teman dari ketiga anak tadi. Aku melihat dia seorang diri sedang menggiring segerombolan kerbau menuju padang, sembari dia berjalan berangkat ke sekolah. Dari kejauhan terlihat, dua kancing teratas baju seragamnya tak nampak lagi, sandal jepit menjadi pelindung kedua kakinya dari batu karang yang runcing, dan sebuah kantong kresek berwarna hitam berisikan beberapa buku dan sebuah bulpoin, menempel pada bahunya.

Akhirnya, setelah lebih kurang 25 kilometer kami menyusuri bukit kapur. Aku melihat bangunan itu. SMP Negeri Satap Walatungga. “Mbak Anitaaa...”sapaku dari dalam mobil ketika mendapati Anita peserta SM-3T yang bertugas di Walatungga sedang berjalan menuju ke kios tidak jauh dari sekolah. Dia menoleh, tapi dia sama sekali tidak menyahut sapaanku, dia tidak menyadari kalau sapaan dari dalam mobil tersebut adalah kami, tim Monev Unesa. Aku pun langsung keluar dari mobil sesaat mobil terparkir di halaman sekolah. Begitu pun juga dengan Bu Wiwik dan Danu. Bu Wiwik adalah seorang dosen Geografi Unesa, beliau memimpin rombongan kami. Ibu yang berperawakan sangat kalem membuat perjalanan kami terasa sangat nyaman. Sementara Danu adalah peserta SM3T Unesa 2012, yang secara khusus aku minta untuk menemani sepanjang perjalanan mengunjungi sekolah tempat tugas teman-temannya. Ketika kami bertiga keluar dari dalam mobil, seketika itu pula Anita berlari dengan cepat menuju kami. Dia benar-benar tidak menyangka, sapaan tadi merupakan sapaan hangat dari tim Monev. Dengan senyuman bahagia ia menyalami kami satu persatu, tidak lupa pelukan hangat dari Bu Wiwik mampu mengobati kerinduaanya kepada sosok ibunya. “Saya kira tadi siapa, maaf...”kalimat yang terucap dari bibir indah Anita setelah menyambut hangat kedatangan kami. Logatnya sudah berubah, dia begitu cepat beradaptasi dengan cara berbicara orang Sumba. Berpostur tubuh wanita Indonesia banget, Anita Nampak sangat menikmati kehidupan barunya, walaupun jauh dari orang tua, berhadapan dengan orang-orang baru, kebiasaan baru, budaya baru, tidak memadamkan api pengabdiannya.

Kami melanjutkan obrolan di dalam ruang guru. “Siaaaap graaak!!! Selamat pagi Bu, selamat pagi Pak......” sapaan tersebut akhirnya kudengar kembali. Sapaan yang menyambutku ketika masuk ke dalam ruang guru. Loh....di ruang guru kok mendapati sapaan tersebut? “Iya...ruang guru kami juga merupakan ruang belajar kelas 9” tutur Anita yang terus menebar senyum kepada kami. Mengobrol dengan Anita serasa mengobrol dengan orang asli Sumba, logatnya sudah benar-benar berubah. Bisa kukatakan, ngedog Jawanya sudah terkikis. Setelah berbincang hangat dengan Anita, kami masuk ke ruang kelas, menyapa anak-anak. Sapaan tersebut ku dengar lagi, lagi dan lagi. Membuatku menelan ludah, menahan nafas sejenak. Inilah puzzle terbesarku, puzzle kedua yang terbongkar. “Siapa yang berangkat ke sekolah paling pagi?”pertanyaan tersebut dilontarkan Bu Wiwik ketika masuk ke kelas 8. “Saya bu guru...jam setengah tujuh, saya bu jam enam pagi, saya bu jam setengah lima pagi” jawaban terakhir dari anak kecil, berkulit legam, duduk di baris ketiga dari depan dena tempat duduknya, hanya memakai sandal jepit ke sekolah. Sepagi itu ia berangkat, berjalan kaki pula. Bisa diperkirakan berapa jauh jarak rumahnya menuju sekolah, bisa diperkirakan berapa gundukkan bukit yang ia lalui, dan berapa aliran sungai yang ia sebrangi.

Tidak lupa Anita pun mengajak kami mengunjungi tempat tinggalnya. Ia bersama satu temannya yaitu Ratnawati bertempat tinggal di rumah salah satu masyarakat. Keramahan mama angkat dari Anita dan Ratnawati menyambut kami. Terlihat langkah yang sengaja dipercepat untuk menyambut tangan kami. Langkah itu datang dari ujung halaman rumahnya, beliau sedang sibuk kerja kebun. “Kedatangan kami ternyata mengganggu mama yang sedang sibuk kerja kebun”, gelitikanku sambil menggenggan erat tangan kanan orang tua angkat Anita. “e…e…tidak apa-apa pak” jawab beliau sambil menunjukkan senyum hangatnya.
Kami pun dipersilahkan masuk, kursi plastik segera dipersiapkan untuk kami. Segenggam sirih pinang menyambut kami, dilengkapi pula dengan kedatangan roti Kabin. Rotinya peserta SM-3T. :)

Kami hanya bertemu dengan Anita, karena saat itu Ratnawati sedang dirawat di RSK. Lindimara. Ia mendapat serangan Malaria, itu merupakan salah satu bagian dari proses adaptasi. Mengingat, daerah Sumba Timur merupakan pusat endemik malaria. Setelah dirasa cukup, akhirnya kebersamaan kami yang sangat singkat tersebut diakhiri dengan foto bersama. “Maaf mama kami tidak bisa lama, karena harus lanjut ke Padammu Melolo” kalimat perpisahan yang dibalas dengan senyuman ramah mama.

Driver pun dengan cekatan melajukan Panther melewati kembali padang sabana. Permukaan jalan yang mulai rusak, mengharuskan driver pintar memilih permukaan jalan yang bisa dilewati. Sepanjang perjalanan Danu tidak habis-habisnya bercerita kepada Bu Wiwik, yang tepat duduk disamping kirinya. Hingga di tengah perjalanan Danu mampu memunculkan rasa penasaran beliau tentang apa itu pohon dan buah Kesambi. Diam-diam ternyata driver menangkap obrolan kami, dan tiba-tiba ia menginjak rem, menghentikan laju mobil. “Itu pohon Kesambi” sambil menunjuk ke sebuah pohon yang ada di kanan jalan. Danu pun segera keluar dari mobil, melompat, menggapai dan memetik beberapa buah Kesambi yang khusus dipersembahkan kepada Bu Wiwik, untuk menjawab rasa penasarannya tadi. Tidak ragu beliau pun langsung mengincipi satu buah, terlihat wajah meringis menahan rasa kecut tersebut. Memang jika tidak beruntung memilih buah Kesambi, maka yang kita dapat pasti rasa kecut setengah mati. “Ini kelengkengnya Sumba ibu” sahut driver dari tempat mengemudinya.

Sekitar satu setengah jam kemudian, kami akhirnya masuk melewati pintu gerbang SMP Negeri Satap Padammu Melolo. Ini merupakan sekolah kedua yang kami kunjungi, ada satu orang ibu guru 3T, yang ditugaskan di Padammu. Bangunan sekolah yang berada tepat di samping jalan memudahkan Ariesta jika ingin pergi ke Waingapu. Dia hanya perlu keluar mess dan berjalan kaki beberapa meter menuju jalan raya untuk medapatkan bus, hal serupa juga ia lakukan ketika ingin mendapatkan sinyal. Sinyal di Padammu hanya bisa diperoleh ketika keluar menuju jalan raya. Ibu guru Mapel Seni Budaya ini sungguh sangat pendiam, senyum simpul nampak ketika mobil berhenti di halaman sekolah. Binar kedua matanya sedikit terbayangi oleh dua kaca yang menghiasi kelopaknya. Sedikit terkejut dengan sikap Ariesta, dia kelihatan canggung dengan kedatangan kami, bisa aku lihat ketika kami asyik berbincang, seperti diinvestigasi di ruang sidang, begitu pun dengan kedatangan kami, seperti sebuah sidak terhadap dirinya. Lain saat di Walatungga, ketika keceriaan dan kebahagiaan Anita menyambut sapaan kami.

Ariesta sangat beruntung mendapat tempat tugas di sini, karena di Satap Padammu, terdapat guru-guru yang mempunyai visi luar biasa terhadap kemajuan sekolah. Sedang asyik menikmati pendiamnya Ariesta, aku dikejutkan dengan kedatangan Bu Ida. “Loh...bu Ida?” tanyaku, “Pak Ali...akhirnya ketemu lagi” sahutnya. Bu Ida ini teman guru yang bertugas di SMP N 1 Rindi, yang dulu menjadi tempat pengabdianku. Beliau mendapat mutasi ke SMPN Satap Padammu sebulan setelah aku pulang ke Jawa. Sapaan hangat dari rekan guru membuatku semakin rindu ketika masa-masa pengabdian. Padahal, aku sudah mengetahui sebelumnya bahwa Bu Ida mutasi ke SMPN Satap Padammu, tapi kenapa aku sangat terkejut saat melihat beliau berada di sini. “Adven ikut di sini kan Bu?” tanyaku tentang seorang laki-laki kecil, yang dahulu selalu menemaniku di lapangan. Adven adalah buah hati Bu Ida, “ada kok Pak” jawabnya. Tidak lama Ia, Adven muncul dari pintu ruang guru. Dia langsung meraih tanganku, dia langsung jatuh dalam pelukanku, “guru…guru” panggilan tersebut tanpa sadar manjadi bagian kecil dari puzzle kerinduanku.

Kemudian kami digiring oleh Bu Ida dan Wakasek mengunjungi kelas demi kelas. Pintu pertama yang kami buka adalah kelas 7b, kelas ini masih join ruangan dengan perpustakaan dan laboratorium IPA. Satu ruangan dijadikan tempat anak-anak beraktifitas di sekolah. “Mau bagaimana lagi Bu, keadaan kami memang seperti ini” tutur Wakasek kepada Bu Wiwik. Karena memang ruang kelas terbatas dan jumlah murid semakin meluas, mengharuskan kami menguatkan tuas semangat belajar pada diri anak-anak. Untuk sementara mereka harus belajar di ruangan yang sempit. Meskipun begitu belajar di ruang sempit tak menyempitkan nyali mereka menembus padang menuju surga ilmu.

Mengetahui semangat anak-anak Padammu, kami terhanyut. Kami pun teringat rute perjalanan, bahwa perjalanan kami masih panjang. Perjalanan menengok teman-teman peserta, dan pastinya, bagi Bu Wiwik, menengok anak-anak yang membanggakan ini. Kami pun berpamitan kepada seluruh guru dan memberi semangat kepada Ariesta agar tetap terjaga semangat dan kesehatannya demi anak-anak bangsa. Melepas kepergian kami dengan senyuman, membuat kebahagiaan nampak di wajah imut Ariesta.
Perjalanan berlanjut ke wilayah yang setahun lalu menjadi basis pengabdianku, Kecamatan Rindi. Kami langsung melesat menuju kesana, tepatnya di SMPN Satap Tamburi. Tamburi yang konon memiliki arti kata “Tanah Longsor”, dihuni oleh sepasang ibu guru jelita, Mifta dan Lilik. Kerinduanku seolah semakin menghanyutkan ragaku, ke sungai Tamburi yang melintas di samping jalan menuju SMP. Kecamatan yang selama setahun lalu menjadi wilayahku. Sangat hafal sekali dengan lubang-lubang jalan sepanjang wilayah Rindi. Memejamkan mata, melihat bayangan semu yang bersembunyi dari indahnya kenangan, aku berharap bisa kembali lagi. Dahulu aku berjalan kaki melewati jalan ini, dahulu aku mengendarai kuda besi melewati jalan ini, hanya itu yang berbisik di hatiku. Puzzle kerinduanku yang ini sungguh menggelegar dalam dada.

Simpang Tamburi akhirnya sudah kelihatan, mobil pun mengikuti arah jalur jalan tersebut. Goncangan di dalam mobil ikut menggoncang ingatanku. Rombongan babi telah menyambut kedatangan kami, seolah mereka mengucapkan “selamat datang di desa Tamburi”, kami harus menempuh jarak sekitar 4 km menuju kepada dua Srikandi muda tersebut. Kondisi jalan yang belum berubah memaksa driver harus jelih memilah jalan yang nyaman buat kami.

Jembatan itu bisa kulihat, berarti kami telah sampai. Jembatan Kayuri tertulis di ujung tembok itu, menjadi tanda kami telah sampai. Lalu lalang anak-anak di tengah lapangan menyapa kami. Gemericik air sungai berpadu serasi dengan suara ceria anak-anak itu. Ketika mobil kami berhenti, mereka berhampur mengerumuni sekujur tubuh Panther biru. Aku tidak melihat dua rekanku, aku tidak mendengar suara lembut mereka. Kemanakah dua Srikandiku? Kami mengarahkan kaki menuju pintu, bagian atas kusennya terpahat indah tulisan ruang guru. Ternyata Mifta sedang sibuk dengan pekerjaan anak-anak, hingga tidak menyadari kedatangan kami. “Mifta...”sapaku. “Yaaaa Allah........mas Aliiii...”jawabnya dengan tertawa keras. Anak ini memang sangat ceria, aku berani mengatakan anak ini Koplak, karena ia memiliki karakter yang sangat asyik. Setelah mempersilahkan kami masuk ke ruang guru dan menempati tempat duduk yang telah menjadi langganan para tamu, Lilik pun datang, “loh...Lik tambah besar, pipi juga sudah cabi” belum sempat bersalaman dengan dia aku sudah menghantam dengan kalimat tersebut. Empat bulan lalu aku melihat Lilik yang kurus, dan sekarang badan dia sudah berisi.

Aku sudah sangat mengenal kedua peserta yang ditugaskan di Tamburi, karena saat Mifta tiba di Waingapu, aku yang berkewajiban menjemput di Waingapu, dan mengantarkan hingga masuk SMP Negeri Satap Tamburi. Dan hari-hari setelah itu, Mifta juga tidak jarang berkunjung ke tempat tugasku. Aku mantan koordinator kecamatan Rindi, jadi aku sudah sangat mengenal baik kondisi di kecamatan ini. Baik dari sekolah maupun masyarakat. Melihat kondisi di kantor guru yang sangat sepi, maka kami putuskan melanjutkan perbincangan di bawah pohon nangka. Sambil menikmati kesejukan lembah Tamburi, kami bercanda bersama anak-anak SD Tamburi yang pada saat itu sudah jam pulang sekolah. Kepala Sekolah dan Wakil tidak berada di tempat karena beliau berdua sedang menghadiri rapat di dinas PPO, membahas Ujian Nasional yang sudah menguntit para guru dan seluruh siswa kelas 9, bak setan berjubah hitam dengan membawa tombak, yang siap ditancapkan kepada siswa-siswi yang tidak siap menghadapi Ujian Nasional.

Langit yang begitu cerah tiba-tiba menghitam, entah dari mana angin kencang tersebut mendapat gundukkan awan hitam, yang sudah siap membasahi tanah Tamburi. Dalam kondisi langit yang mulai meneteskan butir-butir air, aku menyempatkan menyapa Jerri, “masih ingat dengan saya Jerri?”tanyaku. Sambil melempar senyumannya, ia menjawab “masih pak guru”. Jerri merupakan siswa yang sangat baik dengan teman-teman SM3T tahun lalu. Ia selalu bersedia jika disuruh untuk mengantar ibu-ibu guru 3T berbelanja dan sangat sering juga mengantarkanku pulang ke Tanaraing, jika aku main di Tamburi. Hebatnya, Jerri tidak pernah menjadi ojek sebelumnya dan tidak pernah bersedia jika disuruh orang lain, jadi ia hanya bersedia jika disuruh oleh guru SM3T, hingga ia mendapat julukan “Ojek SM3T”. Ia juga merupakan murid paling senior, umurnya sudah berjalan diangka 20 tahun, saat ini ia sedang duduk di bangku kelas 9.

Tidak lama kemudian, hujan lebat turun melenyapkan udara panas yang beberapa menit lalu menguras keringat dari pori-poriku. Memaksa kami masuk ke dalam mess. Sambil menunggu hujan reda, kami menikmati bekal santap siang, yang sudah kami bawa dari Waingapu. Kami berlima pun langsung membentuk formasi melingkar. Meski sedang asyik menikmati makanan, kami terus asyik menyambung obrolan yang sempat terputus oleh hujan tadi. Sampai tak terasa makanan yang ada di hadapan kami habis dan saat menengok ke arah luar, ternyata air hujan juga sudah reda, menyisakan tetesan di ujung-ujung atap seng, menyegarkan dedaunan yang memayungi Panther biru itu. Melihat keadaan tersebut kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan, tidak lupa menunaikan kewajiban bersimpuh di hadapanNya, karena jam sudah menunjukkan pukul 13.30 Wita. Saat kami siap untuk berpamitan, ternyata Mifta dan Lilik ikut rombongan Monev ke kecamatan selanjutnya, karena esok hari mereka tidak ada jam mengajar. Bu Wiwik mengijinkan mereka untuk ikut bersama rombongan, sekaligus menjadi teman bagi beliau selama sisa perjalanan.

Kami meluncur dari Tamburi tepat pukul 14.30 Wita, kali ini kami langsung ke kecamatan Wulla Waijelu. Di sana terdapat tiga ibu guru SM3T Unesa yang bertugas di SMA Negeri 1 Wulla Waijelu. Permukaan jalan yang sangat halus mengantar kami menuju ujung rute dua. Masih sangat terniang puzzle kerinduanku yang membentuk gambar kecamatan Rindi. Jalanan yang dulu, hampir setiap hari kulalui sekarang menjadi pengobat rinduku. Lubang-lubang masih mengangah di sekujur tubuh jalan. Batang dan ranting pohon yang tak berdaun sekarang sudah rimbun, hingga tak nampak seberapa besar batang dan ranting itu.

Papan putih berukuran 1 kali setengah meter menyapaku, dari samping kiri jalan yang kulewati, ia menyapa ingatanku. Papan yang bertuliskan SMP Negeri 1 Rndi, membawaku pada saat aku bersama keempat temanku menancapkan papan nama tersebut. Itu jejak pengabdianku yang masih bisa dinikmati hingga sekarang, dengan dua kaki sebagai penyangga berdirinya tulisan tersebut, nama Ellys dan Yani masih sangat kentara di bagian depan, sementara Ali dan Mufti tertulis membelakangi nama kedua wanita pemberi kehidupan selama mengabdi. Aku kembali membongkar puzzle kerinduanku. Ingin aku berhenti, ingin aku duduk bersandar pada kaki itu, tapi, itu hanya sekadar keinginan. Perjalanan kami selanjutnya melewati, meninggalkan kecamatan Rindi. Wulla Waijelu, kecamatan yang akan kami jadikan tujuan selanjutnya, sekaligus menjadikan hotel berkelas bintang lima bagi Bu Wiwik, setidaknya untuk malam ini.

Pukul 4 sore, rombongan kami tiba. Tiga sosok wanita berdiri, mereka telah siap menyambut kedatangan rombongan kami. Wajah-wajah mereka menunjukkan kebahagiaan, menunjukkan kenikmatan mengabdi, dan menunjukkan kenangan yang sudah mulai merasuk. Assalamu’alaikum….salam itu menancap dalam hati, betapa jernihnya pikiran ini ketika mendengar alunan indah kata salam tersebut. Waalaikumsalam wr wb…jawaban mereka semakin menggetarkan batin. Hidup di dalam masyarakat Sumba, mayoritas non muslim, menjadikan perkataan salam tersebut sangat jarang kita dengar. Dan ketika kita disapa dengan salam tersebut, serasa hati kita begitu tentram, serasa tubuh kita begitu aman berada di masyarakat non muslim, dengan lindunganNya.
Mengetahui kedatangan kami, Pak kepala sekolah beranjak menyapa kami, beliau datang ke mess teman-teman. Berhubung gedung SMA masih dalam proses pembangunan, maka ketiga guru 3T ini, sementara tinggal di mess gedung TK, yang tidak jauh dari SMA. Saat ini, proses pembelajaran dilaksanakan di SD Masehi Baing. Memanfaatkan empat ruang yang kosong, Pak kepala sekolah memaksimalkan proses pembelajaran di SMA, yang tahun ini merupakan tahun ajaran pertamanya. Iya…SMA Negeri 1 Wulla Waijelu baru berjalan tahun ini, baru berjalan setengah perjalanan. Sangat beruntung bagi ketiga rekan guru 3T yang bertugas di sini. Mereka menjadi sejarah sekolah, mereka menjadi bagian dari perintis SMA yang akan bermarkas sejalur dengan dermaga Waijelu, yang masih dalam tahap penyelesaian.

Obrolan sore itu berjalan sangat hangat, apalagi mendapati seorang kepala sekolah yang memiliki visi begitu baik. Ternyata secara resmi, beliau belum menjadi kepala sekolah. Beliau diamanati dinas PPO untuk mengemban tanggung jawab merintis SMA Negeri 1 Wulla Waijelu. Amanat yang begitu besar, memiliki makna dalam dunia pendidikan, lebih pasti menjadi sejarah dunia pendidikan Sumba Timur. Laki-laki berkacamata ini sangat bersahajah, saling melempar pertanyaan dalam obrolan senja tersebut, membuat senyum kami selalu muncul.
Untuk menghilangkan kepenatan diperjalanan, kami dipersilahkan untuk menyantap hidangan yang sudah disiapkan teman-teman. Pak kepala sekolah memimpin kami, dengan ramah beliau mempersilahkan kami. Sekadar makanan ringan untuk menyambut kedatangan malam. Setelah puas menikmati hidangan yang ada di atas meja, laki-laki yang berdomisili di Melolo tersebut berpamitan, karena beliau akan melihat proyek gedung SMA. Kami pun ditunggu di sana, bersama-sama melihat proyek yang direncanakan selesai pada bulan Juni, sehingga semester genap sudah bisa digunakan. “Saya permisi dulu ya Ibu, sebentar(nanti) saya tunggu di SMA” kalimat tersebut mengantarkan beliau meninggalkan kami.

Mendengar ajakan pak kepala sekolah, kami pun sangat antusias, terutama juga Bu Wiwik yang juga pasti penasaran dengan gedung SMA yang masih dalam proses pengerjaan. Silih berganti kami mengambil air wudhu, dan sesegera mungkin bersimpuh kepada Sang Maha Memberi. Setelah kewajiban sudah ditunaikan, Eka langsung mengarahkan driver menuju proyek. Eka merupakan salah satu ibu guru yang bertugas di Waijellu, dia ibu guru Ekonomi. “Aku mengajar tiga mata pelajaran mas” paparnya sambil meninggalkan gedung, yang ia jadikan tempat menuai mimpi.

Sekitar 10 menit kami sudah sampai pada tanah lapang itu, beberapa tumpukkan material sudah siap membentuk kotak-kotak ruang kelas. “Loh…kok tidak berhenti Ka?”tanyaku melihat mobil masih melaju lurus. “Kita ke dermaga dulu saja mas, menikmati pemandangan terlebih dahulu, baru kita menyapa Pak kepala sekolah” jawabnya sambil melambaikan senyum manisnya. Padahal Pak kepala sekolah sudah terlihat duduk di bawah pohon, di samping mess para tukang, siap menyambut kami, malah kami jalan terus sambil menengedahkan tangan keluar mobil, menunjuk arah dermaga. Melihat itu, Pak kepala sekolah hanya mengangguk sembari menampakkan senyum kewibawaannya.

Hanya beberapa saat kami sampai di dermaga, dermaga yang sudah kudengar kabarnya semenjak masih di Sumba, masih dalam proses penyelesaian. Sempat menangkap kabar burung, direncanakan tahun 2015 selesai dan mulai beroperasi. Berarti proyek SMA tadi berada di daerah yang sangat strategis. Jika memang esok dermaga Waijelu sudah beroperasi, pastinya jalan yang melintas di depan SMA menjadi jalan utama. Setelah asyik menemani Danu, dkk. Kami memutuskan segera mengunjungi laki-laki berkacamata yang sudah menunggu kami tadi, yang mungkin sudah jenuh menunggu kedatangan kami.

Kami pun tiba di tanah lapang berukuran 2 hektar itu, tanah lapang yang sangat luas untuk dijadikan pengembangan pendidikan di Wulla Waijelu. Berjejer rapi para tenaga proyek duduk di pojok batas tanah itu, menikmati suasana senja yang mulai memerahkan langit. Kulit menggeliat terlihat di tubuh mereka, kegigihan bekerja untuk menyelesaikan proyek sesuai tenggat waktu terpampang pada raut muka mereka. Garis-garis kerutan di kening ataukah di pipi tidak menyulutkan kegigihan mereka. Mungkin salah satu dari mereka merupakan orang tua murid, yang putra-putrinya akan mendiami, menuai ilmu di gedung yang mereka dirikan.

Merah senja semakin menelan birunya langit, setitik cahaya nan jauh di atas sana sudah nampak. Setelah cukup lama berbincang soal proyek itu, kami pun berpamitan kembali ke mess. Menikmati seduhan kopi dari ibu-ibu guru ini membawaku pada ingatanku di Tanaraing Rindi, tempatku tugas kala itu. Setiap pagi dan sore, aku pasti menyeduh secangkir kopi bersama Mufti dan Mama angkatku, di sebuah bangunan yang sudah sangat payah untuk berdiri tegap. Mufti adalah teman tidurku selama pengabdianku sepanjang tahun. Kecapan sirih pinang yang membekas merah di bibir Mamaku, seolah melekat di ingatanku. Secangkir kopi yang disuguhkan adik-adikku ini membuka puzzle kerinduanku selanjutnya. Memang rasa kopi Sumba begitu membara pencipta sebuah rasa.

Memandangi hitamnya segelas kopi yang berada di genggamanku, tak terasa senja sudah benar-benar menenggelamkan matahari. Berkas cahayanya hanya terlihat di ujung garis batas antara langit dan bumi. Tidak ada lantunan merdu adzan, tidak ada merdu liukan yang mengajakku bersimpuh kepadaNya. Hanya dengan bantuan jam digital pada layar hp kami bisa mengetahui waktu sholat. Waktu maghrib menjelma bersamaan dengan hilangnya warna hitam dalam gelasku, aku pun meletakkan gelas mungil itu, aku juga memasukkan sebungkus Sampoerna ke dalam tas kecilku. Aku harus segera menghadap, aku harus segera bersimpuh, aku harus segera memohon maaf, mengharap kapadaNya. Sang Pencipta Alam.

Langit benar-benar menghitam, taburan kelap-kelip bintang berceceran tak beraturan. Duduk sambil menengadahkan muka ke atas merupakan kegiatan wajib. Kegiatan yang dahulu hampir setiap malam aku lakukan. Sepoi angin menemaniku, berputar-putar lembut menyelusuri cela pada tubuhku. Betapa besar karyaMu, betapa indah ciptaanMu. Hamparan langit dengan bermilyaran bintang, menyengat kenanganku. Aku sangat sering menghabiskan malam dengan memandangi bintang-bintang tersebut. Sangat banyak, sangat berlimpah. Aku mungkin tidak akan bisa menemukan di Jawa. Puzzle kerinduanku pun membawa pada suatu malam, ya malam yang pernah aku habiskan bersama seseorang. Hanya mengobrolkan keindahan langit malam Sumba Timur. “Seandainya keadaan masih sama seperti dulu, aku pasti membayangkan dirimu sekarang duduk berada tepat di sampingku”, diriku sudah termakan oleh bayang-bayang khayal.

Tidak pernah lupa, lirik karya teman seperjuangkanku Hendrotriyo Priambodo, menemani malam gelap bertaburan bintang.
_________________

Dingin menjelma di sekujur tubuh, langkah kaki begitu menyibukkan telingaku, mereka, para guru 3T sudah bersiap melakukan aktifitas, bersiap menyapa anak-anak bangsa yang selalu mengundang senyum. Seusai bersimpuh kepada Sang Khalik, aku bersama Danu menikmati lezatnya kopi Sumba dan meresapi racun-racun yang masuk ke dalam tubuh melalui sebatang rokok. Di ujung perbatasan itu, semburat cahaya siap menyapaku.

Dari ujung timur, ia sudah mulai merambat menuju tempat yang menumbuhkan senyumannya. Senyuman mentari pagi selalu memberi semangat, ia selalu mengajak manusia untuk mengawali pagi dengan penuh suka cita. Garis waktu yang akan dilewati seharian harus ditempuh dengan langkah pasti dan bajik. Percuma senyuman mentari itu, jika kita menjalani hari dengan kesedihan atau tak bersemangat menyapa dunia.

Tiga ruang kelas di SMA Negeri Wulla Waijellu telah menunggu kedatangan kami. Sore kemarin kami telah berjanji kapada kepala sekolah, esok kami akan berkunjung ke sekolah, mengunjungi anak-anak bangsa, sebelum kami melanjutkan perjalanan ke kecamatan Pahunga Lodu. Setiba di sekokah, kami langsung diarahkan Eka menuju ruang guru, ruang guru yang sekaligus dijadikan gudang nampak tidak teratur. “Ya beginilah keadaanya bu..” sahut Pak kepala sekolah, ketika mata kami tajam mengarah ke sudut-sudut ruangan ini.

Tidak lama kami menghabiskan waktu di ruangan ini, berhubung kemarin kami sudah mengobrol banyak dengan kepala sekolah. Kami lebih tertarik untuk mengunjungi anak-anak yang terbagi dalam tiga ruang kelas ini. “Siiiaaapp graaak….selamat pagi pak guru, selamat pagi bu guru” lagi dan lagi, sapaan ini mengharukanku. Sapaan yang terasa mampu membanggakan diri sendiri, ketika dengan tegas memilih Guru sebagai profesi. Puzzle kerinduanku memang sudah semakin terbongkar, lewat sapaan mereka, lewat sapaan pesona alam Sumba Timur, kerinduan ini sedikit lagi terobati. Tiga ruang kelas pun silih berganti sudah kami kunjungi, mendapati sapaan-sapaan penuh semangat dari anak-anak yang luar biasa.

Pukul 8 lebih 30 menit, kami berpamitan kepada Bapak kepala sekolah dan peserta SM3T. Kami harus beranjak ke kecamatan Pahunga Lodu, rute terakhir yang kami kunjungi. Di kecamatan tempatnya matahari terbit ini, terdapat 10 guru SM3T yang bertugas di empat sekolah, yaitu SMK N 3 Pahunga Lodu, SMP N 2 Pahunga Lodu, SMP N Satap Lambakara dan SMP N Satap Tamma. Mereka akan berkumpul di kantor kecamatan, bersama pak Camat dan jajarannya, mereka akan menyambut kedatangan kami. Kenapa di awal tadi, aku mengatakan tempatnya matahari terbit? Karena arti kata Pahunga Lodu adalah matahari terbit. Lewat penuturan Mifta, yang sempat bermalam di Tamma, ia memaparkan keindahan mentari pagi di Pahunga Lodu, memang sungguh indah dan layak jika kecamatan ini memiliki makna Matahari Terbit.

Danu merupakan koordinator di kecamatan ini, memang layak amanat tersebut disemayatkan pada sosok dewasa ini. Sejam kemudian, setiba di kantor kecamatan, pak Camat telah menunggu kedatangan kami. Tidak lama kami langsung berbasa-basi sebelum memulai pertemuan. Sosok humoris menjadikan peserta SM-3T di kecamatan Pahunga Lodu terasa nyama bertugas. “Hingga sekarang belum ada laporan tentang hal-hal negatif dari guru 3T, mereka semua diterima dengan baik oleh masyarakat” tutur pak Camat menunjukkan dukungan program mulia ini. Ditambah juga oleh Sekcam yang hampir sependapat, “dengan kehadiran guru-guru 3T, pendidikan di Sumba Timur pasti terbantu banyak, kami sangat mengharapkan program ini akan terus berlanjut”.

Dialog tersebut berjalan sangat komunikatif, kami membicarakn hal-hal yang bermanfaat untuk kemajuan pendidikan. Seusai bertemu dengan jajaran pegawai kecamatan, kami kemudian bercengkrama di salah satu mess guru 3T. Lambakara, menjadi tempat mereka berkumpul, mempersilahkan kami untuk duduk, menjelaskan kepada kami hal-hal yang mereka jumpai saat bertugas. Dari berbagai hal yang mereka ceritakan, tidak satu pun yang menunjukkan sebuah paragraph keluhan. Mereka semua menikmati pengabdian ini, mereka semua bahagia menjalankan amanat bapak negeri. Indonesia harus maju bersama, jangan sampai ada yang tertinggal.

Tidak terasa perbincangan kami harus terputus. Waktu sholat Jum’at mengharuskan kami berpamitan kepada seluruh guru 3T. Kami berpamitan untuk sholat Jum’at ke Kaliuda sekaligus nanti langsung berangkat ke Waingapu. Kaliuda merupakan sebuah desa yang terdapat masyarakat muslim, jadi kami harus ke sana untuk mengikuti sholat Jum’at. Di Kaliuda juga merupakan pusatnya kerajinan tenun ikat asli Sumba Timur. Kualitas terbaik yang dihasilkan tangan-tangan rajin masyarakat Kaliuda. Jika kita ingin mendapatkan kualitas nomor wahid, maka kita harus datang ke Kaliuda. Semua bahan berasal dari alam, benang, warna, semua bahan diambil dari alam dan diproses secara tradisional.

Meninggalkan Kaliuda, sebelum kembali ke Waingapu seusai sholat Jum’at. Aku mengajak Bu Wiwik dan Lilik berkunjung ke keluarga baruku. Keluarga baru yang menerimaku setahun lalu, disaat aku bersama tiga temanku bingung mencari tempat tinggal, mereka, keluarga besar Zakariyah Nur menerima kami dengan tangan terbuka. Memberikan tempat tinggal kepada kami. Memberikan kenyamanan dan keamanan yang luar biasa. Di dalam mobil tersisa kami berempat bersama driver, karena Danu dan Mifta tidak ikut bersama kami ke Waingapu. Mereka berdua masih dihadapkan tugas mengajar di ujung minggu. Hanya Lilik yang masih bergabung dengan kami, karena ia tidak ada jam, sekaligus di Waingapu ia bisa menyelesaikan proposal, buah hasil pemikiran peserta SM3T 2012, untuk mengadakan sebuah seminar pendidikan.

Tiba di Tanaraing pukul 2 sore tepat, aku keluar dari mobil dengan perasaan yang tidak karuan. Entah apa yang aku rasakan, rumah itu masih sama seperti dulu, sumur itu tetap dengan sebuah pengunkit dan tali tampar. Pohon mangga yang mengelilingi rumah kecil ini semakin rimbun, hingga daun-daun kering tidak menyamankan pandanganku. Akan tetapi, kenapa rumah itu kelihatan kumuh, tidak terawat, seperti rumah yang tak berpenghuni. Begitu pun dengan sumur itu, dulu setiap saat aku berdiri mengayuh, hanya untuk mendapatkan setimba air. Subuh gelap aku sudah berada di tepi sumur itu, sepulang sekolah juga begitu, apalagi sore menjelang aku pasti semakin sibuk dengan pengungkit itu. Benar-benar terkejut mendapati keadaan rumah yang dulu memberi kenyamanan kepada kami, sekarang seperti tak terawat. Dengan langkah yang sangat cepat aku menepis pikiran-pikiranku tadi.

Assalamu’alaikum…….Assalamu’alaikum….

Dua kali salamku tidak terjawab, aku tidak segan langsung menuju ke dalam rumah. Pantas saja salamku tidak ada yang menjawab, di rumah hanya ada mas Walid, tidur pula. Salah satu anak dari Bapak Mamaku. Aku bangunkan dia, “mas…mas Walid!” akhirnya dia pun bangun, dengan setengah sadar ia kaget keberadaanku di dalam rumah “loh..pak Ali” sahutnya. Mungkin ia mengira aku hanyalah bayangan mimpi, yang menemani tidur siangnya. Bu Wiwik dan Lilik pun ikut masuk ke dalam rumah, mereka berdua mendapati sebuah bingkai yang terpampang tepat di tengah dinding ruang tamu. Mereka perlahan-lahan mendekat, memperjelas pandangannya terhadap sebuah gambar yang ada pada bingkai tersebut. Saat aku keluar, aku mengetahui gelagak Bu Wiwik dan Lilik, sedikit terlihat senyum simpul terurai di bibirnya. “Itu kami Bu, SM3T angkatan pertama yang bertugas di kampung ini, ya..Bu, itulah kami”.

Melihat rumah tempat mencurahkan perasaan setahun lalu sekarang sunyi, senyap, aku putuskan untuk ke rumah sebelah. Rumah Bapak Igo, anak sulung dari Bapak Mamak. Aku berjalan kaki menuju rumah tersebut, sebelum sampai rumah itu, Mama Igo beserta dua buah hatinya, Salsa dan Fatir, menjemputku. Kugenggam erat tangannya, ku belai-belai rambut Salsa dan kepala Fatir. Seketika dekapan, pelukan dari Mama Igo bersarang di pundakku. “Pak guru…pak guru…” sambil melanjutkan berjalan menuju rumah Mama Igo, pundakku tak henti-henti didekap oleh seorang Ibu yang sangat dermawan ini. Bapak Igo pun langsung menghanpiri kami, aku sedikit berlari menuju sosok pelaut handal ini, kugenggam seerat saat aku menggenggam tangan istrinya tadi. Kami pun terbuai dalam senyum kerinduan, binar mata ini serasa penuh sesak dengan air yang akan meletup ke permukaan, sedikit mengankat kepala, mengarahkan pandangan ke birunya langit, hanya sekadar mengaburkan air mata ini, aku tidak ingin air mataku jatuh di sini.

Empat kursi diletakkan memutar di bawah pohon mangga, di samping kios Mama Igo. Belum memulai perbincangan, Mama sudah memulai dengan tertawa sambil menahan air mata yang sudah berada di ujung kelopaknya. Terlihat Bapak Igo duduk di depan kios sambil senyum-senyum melihat pertemuan kami, serupa dengan yang dilakukan Salsa dan Fatir. “Ma, kemana Bapak Mama (Nenek Kakek)?” tanyaku melihat situasi rumah sangat sepi. “Mereka ada di Melolo ana, Mama ingin berjualan, Mama tidak ingin berhenti di sini” jelasnya sambil terus mengurai senyuman. Memang Mama angkatku (nenek) orangnya sangat rajin, beliau tidak krasan dengan yang namanya pengangguran. Meskipun umur sudah sangat tua, badan sudah layu, tapi semangatnya untuk berdagang di pasar, seperti semangat para pedagang islam saat dulu kala menyiarkan Islam.

Kebersamaan kami hanya satu jam, karena aku dan tim harus segera kembali ke Waingapu. Sayang aku tidak bisa bertemu dengan orangtua angkatku. Mama Igo sekeluarga sudah melengkapi puzzle kerinduanku, yang sebenarnya jika ditelaah, puzzle tersebut belum sempurna membongkar kerinduanku.

“Pak Guru…” sapa Sumarni, muridku yang sekarang duduk di kelas 8, kemudian tidak lama sapaan tersebut aku dengar lebih lantang dari anakku yang duduk di kelas 9a, yaitu Ferdinan. Mereka berdua mampu mewakili 140 anak-anakku yang ada di SMP Negeri 1 Rindi.

Aku masih sangat merindukan canda tawa Mama dan Bapakku. Aku rindu saat menyeduh kopi bersama sambil memeluk kain yang menutupi sekujur kulit kami. Aku rindu saat makan sirih pinang bersama beliau. Dan, Aku pun sangat merindukan Amira kecilku, aku merindukan tawanya, lucunya, berlarinya, aku ingin memeluknya.
_________________

Hari kedua bulan kedua ditahun 2013, hari itu aku kembali ke Jawa. Tugasku sebagai tim Monev SM-3T Unesa angkatan 2012 telah usai. Banyak kenangan yang kembali muncul ke permukaan, yang kudapatkan selama empat hari di tanah Marapu. Puzzle tersebut belum sepenuhnya terbongkar, tapi aku sudah sangat bahagia, karena mimpiku terwujud lebih cepat dari apa yang aku rencanakan.

Semalam Mamaku menghubungiku lewat via telepon, dia sangat senang karena aku bisa berkunjung ke rumah, karena aku bisa datang ke Tanaraing, karena aku pada akhirnya bisa kembali ke Sumba setelah perpisahan empat bulan yang lalu. Meskipun, nampak sekali penyesalan pada diri beliau, karena aku tidak bisa bertemu dengannya dan suaminya, dan juga dengan Amira, salah satu cucunya. Mungkin penyesalan itu, hampir serupa dengan apa yang aku rasakan. Aku ingin mencium punggung tangan Mama dan Bapak.

Sebait kalimat yang terakhir kuucapkan kepada Mama angkatku ini, “do’akan saya bisa kembali lagi ke Sumba Mama, pastinya dalam keadaan tidak bertugas. Do’akan saya dan teman-teman (Mufti, Ellys dan Yani) mendapat rejeki, sehingga bisa main ke Tanaraing Mama”.

(6 Februari 2013)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mentolerir Rindu

Usai lama sudah Bagaimana nyummu punya kabar? Nyungga sedang pi ambil potongan-potongan kenangan Usai lama sudah Rumah tak lagi tersentuh pena Usai lama sudah Nyungga tak lagi mendengar nyummu punya suara Usai lama sudah Air panas tak membelai lidahku Usai lama sudah Pinang Sirih tak meraba bibirku Usai lama sudah 13 Des 2018 To: Kakek Nenek - Tanaraing - Rindi - Sumba Timur - NTT

B A N D U S A

Untukmu Bandusa Rambut gondrongmu sudah pendek Begitupun warnanya, pun sudah hitam  Gincumu sudah tak nampak, entah kemana  Begitupun eye shadow dan blas on Bebatuan emas juga tak bergelantungan di tubuhmu Kamu juga sudah mulai bisa berbaris, meski tidak rapi Sepatu pun sudah tak lagi tersimpan bersama ternakmu Lingkaran perjudianmu juga sudah tak lagi menyapa Kau ganti dengan permainan tradisional penuh tawa Meski, seragammu tak layak, tetapi semangat kakimu meninggalkan waktu tanam dan ngarit perlu diacungi jempol Teruslah datang setiap hari ke sekolah, Nak! Penuhi tawamu, penuhi bahasamu Bukan materi bertema-tema yang ingin kujejalkan, tetapi mari bersama belajar beretika yang kurang kau dapatkan